KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek kinerja Emiten-emiten produsen nikel dalam jangka pendek dan menengah kemungkinan bakal bergantung dari dampak pengurangan target produksi nikel nasional pada 2026 mendatang. Dalam berita sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian ESDM berencana memangkas target produksi nikel nasional dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2026 menjadi 250 juta ton. Angka ini lebih rendah dari proyeksi produksi nikel nasional dalam RKAB 2025 yakni sebesar 379 juta ton. Analis BRI Danareksa Sekuritas Abida Massi Armand mengatakan, kebijakan pemangkasan target produksi nikel merupakan langkah strategis pemerintah untuk menyeimbangkan pasar global yang saat ini mengalami kelebihan pasokan (
oversupply).
Baca Juga: Lonjakan Harga Emas Antam Ditopang Faktor Global dan Domestik Dampak positif utama dari kebijakan ini adalah terciptanya stabilitas harga jual komoditas dan penguatan posisi tawar penambang legal terhadap pemilik smelter, meski di sisi lain terdapat risiko defisit bahan baku bijih nikel domestik. "Profitabilitas emiten nikel berpeluang besar membaik jika kenaikan harga di pasar global yang diproyeksikan bisa kembali ke level US$ 17.500 per ton mampu mengkompensasi penurunan volume produksi dan menjaga margin laba bersih tetap sehat," jelas Abida, Senin (22/12/2025). Chief Executive Office (CEO) Edvisor Provina Visindo Praska Putrantyo mengatakan, pengurangan target produksi nikel di atas kertas dapat mendorong Harga Patokan Mineral (HPM) lebih tinggi yang kemudian mengangkat harga bijih nikel domestik. Namun, keberhasilan kebijakan ini juga bergantung pada tren permintaan nikel dari sisi industri hilir, khususnya industri
stainless steel (baja nirkarat) dan baterai kendaraan listrik. Seiring adanya penurunan target produksi nikel nasional, emiten di sektor ini kemungkinan akan lebih selektif mengalokasikan belanja modal atau
capital expenditure (capex) pada 2026 nanti, misalnya diprioritaskan untuk penyelesaian proyek smelter atau investasi pada teknologi yang berdampak pada efisiensi biaya.
Baca Juga: Adaro Andalan Indonesia (AADI) Coba Bertahan Di Tengah Tekanan Harga Batubara "
Operating expenditure (opex) juga diharapkan bisa lebih terjaga jika
average selling price (ASP) naik," tutur Praska, Senin (22/12). Di sisi lain, menurut Abida, emiten nikel kemungkinan menghadapi tantangan biaya unit produksi per ton karena beban biaya tetap harus didistribusikan ke volume yang lebih rendah, serta potensi kenaikan harga bahan baku bagi smelter yang tidak memiliki tambang sendiri. Oleh karena itu, strategi yang perlu diperkuat oleh emiten nikel adalah percepatan integrasi teknologi High Pressure Acid Lead (HPAL) untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi bagi rantai pasok baterai global sekaligus penguatan efisiensi energi secara menyeluruh. Abida melanjutkan, emiten nikel yang berpeluang unggul pada 2026 adalah emiten yang punya struktur biaya produksi rendah, cadangan mineral yang melimpah, serta rekam jejak kepatuhan administrasi RKAB yang bersih sehingga memperoleh prioritas kuota dari pemerintah. Sementara menurut Praska, emiten yang terintegrasi dari hulu hingga hilir berpotensi lebih tahan banting ketika kebijakan pengurangan produksi nikel nasional diberlakukan. Emiten seperti ini punya keunggulan berupa peluang untuk menangkap permintaan produk olahan nikel yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. Lantas, Praska menyebut saham PT Trimegah Bangun Persada Tbk (
NCKL) dapat dipantau oleh investor dengan target harga di level Rp 1.330 per saham. Saham PT PAM Mineral Tbk (
NICL) juga layak dipertimbangkan oleh investor dengan target harga di level Rp 1.255 per saham. Di lain pihak, Abida menganggap Sektor nikel tetap layak dipertimbangkan investor karena intervensi pemerintah dalam mengendalikan pasokan dapat memberi sinyal kuat terhadap pemulihan harga komoditas dalam jangka menengah.
Rekomendasi beli diberikan untuk sejumlah saham, seperti PT Vale Indonesia Tbk (
INCO) dengan target harga Rp 4.700 per saham, PT Aneka Tambang Tbk (
ANTM) dengan target harga Rp 4.100 per saham, dan
NCKL dengan target harga Rp 1.300 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News