JAKARTA. Perluasan lahan kelapa sawit untuk meningkatkan kapasitas produksi nasional akan terganjal moratorium atau penghentian untuk sementara konversi lahan untuk seluruh jenis hutan. Moratorium ini berlaku untuk hutan produksi, hutan konversi, hutan lindung dan lahan gambut. Penundaan ini merupakan buntut dari Letter of Intent (LoI) yang diteken oleh Indonesia-Norwegia dalam kerjasama pengurangan emisi karbon. LoI tersebut sudah berlaku sejak ditandatangani pada Mei 2010 lalu hingga tahun 2020 mendatang. “Sejak LoI ditandatangani maka tidak ada konversi lahan lagi, berlaku untuk seluruh jenis hutan tanpa terkecuali,” kata Diah Raharjo, Presidium Dewan Kehutanan Nasional, akhir pekan lalu. Bila menilik pemenuhan pasar, industri kelapa sawit masih membutuhkan lahan untuk memenuhi permintaan pasar. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), kebutuhan minyak sawit global akan meningkat menjadi 5 juta ton. Nah, untuk mengisi pasar tersebut, kapasitas produksi perlu dikerek. Salah satunya, dengan perluasan lahan.Berdasarkan angka estimasi tahun ini, luas areal perkebunan kelapa sawit 7.824.623 hektare dengan produksi sebesar 23.194.000 ton. Produktivitas lahan tersebut 3.717 kg per hektare. Nah, produktivitas lahan tersebut diperkirakan akan menunjukkan tren meningkat kerena 30% dari kelapa sawit yang ditanam masih muda dan belum menghasilkan buah. Maklum, kelapa sawit tersebut ditanam pada tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009.Sementara itu, Kementrian Pertanian (Kemtan) memproyeksikan pada tahun 2020 lahan perekebunan kelapa sawit akan mencapai 9.127.000 hektare dengan produktivitas lahan sebesar 4.500 kg per hektare. Hitungan di atas kertas, produksi sawit dari lahan tersebut mencapai 40.000.000 ton.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Produksi sawit terganjal moratorium
JAKARTA. Perluasan lahan kelapa sawit untuk meningkatkan kapasitas produksi nasional akan terganjal moratorium atau penghentian untuk sementara konversi lahan untuk seluruh jenis hutan. Moratorium ini berlaku untuk hutan produksi, hutan konversi, hutan lindung dan lahan gambut. Penundaan ini merupakan buntut dari Letter of Intent (LoI) yang diteken oleh Indonesia-Norwegia dalam kerjasama pengurangan emisi karbon. LoI tersebut sudah berlaku sejak ditandatangani pada Mei 2010 lalu hingga tahun 2020 mendatang. “Sejak LoI ditandatangani maka tidak ada konversi lahan lagi, berlaku untuk seluruh jenis hutan tanpa terkecuali,” kata Diah Raharjo, Presidium Dewan Kehutanan Nasional, akhir pekan lalu. Bila menilik pemenuhan pasar, industri kelapa sawit masih membutuhkan lahan untuk memenuhi permintaan pasar. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), kebutuhan minyak sawit global akan meningkat menjadi 5 juta ton. Nah, untuk mengisi pasar tersebut, kapasitas produksi perlu dikerek. Salah satunya, dengan perluasan lahan.Berdasarkan angka estimasi tahun ini, luas areal perkebunan kelapa sawit 7.824.623 hektare dengan produksi sebesar 23.194.000 ton. Produktivitas lahan tersebut 3.717 kg per hektare. Nah, produktivitas lahan tersebut diperkirakan akan menunjukkan tren meningkat kerena 30% dari kelapa sawit yang ditanam masih muda dan belum menghasilkan buah. Maklum, kelapa sawit tersebut ditanam pada tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009.Sementara itu, Kementrian Pertanian (Kemtan) memproyeksikan pada tahun 2020 lahan perekebunan kelapa sawit akan mencapai 9.127.000 hektare dengan produktivitas lahan sebesar 4.500 kg per hektare. Hitungan di atas kertas, produksi sawit dari lahan tersebut mencapai 40.000.000 ton.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News