Produsen batubara kalori rendah tolak royalti naik



JAKARTA. Rencana pemerintah menaikkan royalti batubara untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) setara dengan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), terus menuai protes dari pelaku usaha batubara.

Kali ini protes dikeluhkan oleh PT Bina Insani Sukses mandiri (BISM). Ervina Fitriyani, General Manager BISM menuturkan rencana kenaikan tersebut akan mengganggu biaya produksi di saat harga jual batubara yang masih rendah.

"Selisih antara cost produksi dan harga jual sangat tipis. Bahkan ada produsen yang cost produksinya lebih tinggi dari harga jual,” kata Ervina dalam keterangannya, Rabu (18/6).


Misalnya saja di PT BISM, dengan GAR 3.000-3.100, cost produksinya mulai dari US$ 18 hingga US$ 20 per ton. Sementara harga jualnya US$ 26 dolar per ton. Belum lagi ditambah biaya untuk transhipment 10% per ton. Pada saat bersamaan, perusahaan juga harus mengeluarkan uang untuk kegiatan sosial dan CSR.

“Dalam kondisi apa pun, perusahaan tetap harus mengeluarkan untuk biaya sosial. Masyarakat tidak peduli apakah kita sedang untung ataupun rugi,” ungkapnya.

Ervina yang juga Ketua tim CSR perusahaan tambang batu bara di wilayah Kutai Barat ini mengungkapkan, semua perusahaan tambang batu bara di wilayah Kutai Barat kesepakatan bahwa dana yang dikeluarkan perusahaan untuk program sosial, minimal 0,2% dari pendapatan.

Dengan kondisi ini, maka mayoritas  produsen batubara kalori rendah menolak rencana kenaikan royalti tersebut. Padahal, untuk wilayah Kalimantan Timur dan mayoritas batu bara di Indonesia, 60% batubara berkalori rendah.

Menurutnya kebijakan tersebut, akan memberi efek berantai mulai dari pemutusan hubungan kerja (PHK) sampai berhentinya beroperasinya perusahaan. Padahal, mayoritas karyawan adalah tenaga kerja lokal yang tidak memiliki skill, tetapi kemudian diberikan pelatihan oleh perusahaan.

Sebenarnya kata dia, skema yang selama ini berjalan sudah bagus. Dimana royalti dibayarkan sesuai dengan kalori batu bara, 3,5% atau 7%. “Yang terpenting, sehingga tidak ada kebocoran dan semua tertib membayar sesuai dengan ketentuan. Pengawasan pemerintah lemah, kok perusahaan yang harus dibebankan,” imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan