Produsen batubara kokas menggenjot produksi pada 2019



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Produsen batubara coking coal atawa batubara kokas mengerek produksi pada tahun ini. Mereka memaksimalkan produksi lantaran yakin adanya peningkatan permintaan seiring dengan bertumbuhnya industri baja.

Salah satu pemain bisnis coking coal yaitu PT United Tractors Tbk (UNTR) akan menggenjot produksi batubara jenis ini. Melalui PT Suprabari Mapanindo Mineral, UNTR membidik produksi 1,5 juta ton atau naik 85,87% ketimbang realisasi produksi pada tahun lalu sebesar 807.000 ton.

UNTR, anggota indeks Kompas100 ini, memasarkan batubara ini ke pasar ekspor yaitu Jepang. "Kami optimistis bisnis coking coal akan terus meningkat," kata Sara Lubis, Investor Relations UNTR kepada Kontan.co.id, Minggu (17/3).


UNTR mengakuisisi tambang Suprabari Mapanindo Mineral pada 2017 silam dengan kepemilikan saham 80,1% dan cadangan 40 juta ton. Tambang ini berlokasi di Kalimantan Tengah. Sara enggan menyebutkan harga jual coking coal ini.Yang anak usaha Grup Astra ini menyebutkan bisnis coking coal akan terus tumbuh lantaran harga batubara ini cenderung stabil.

Selain UNTR, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) juga menjajal bisnis coking coal dengan mengakuisisi tambang batubara tahun lalu.

Head of Corporate Communications Adaro Energy Febriati Nadira mengungkapkan, Adaro melalui Adaro MetCoal Companies (AMC) memasang target produksi sebanyak 1 juta ton atau relatif sama dengan realisasi produksi tahun lalu sebesar 1,01 juta ton

Sementara melalui Kestrel Coal Resources Pty Ltd, ADRO membidik produksi 6,5 juta ton batubara, nilai ini melonjak 35,42% dari realisasi produksi pada tahun lalu sebanyak 4,76 juta ton. Nadira yakin permintaan batubara kokas pada tahun ini bakal meningkat sejalan dengan produksi baja diperkirakan akan melanjutkan pertumbuhannya.

"Produksi baja kami perkirakan akan tumbuh moderat karena peningkatan pertumbuhan ekonomi global," kata Nadira, Sabtu (16/3).

Sebagai informasi, cara memperoleh kokas ini dengan memanaskan batubara metalurgi. Nah kokas ini merupakan komponen utama dalam pembuatan baja.

Dengan begitu, Nadira mengharapkan permintaan batubara kokas akan mengikuti pertumbuhan permintaan baja. "Tahun ini memperkirakan seiring produksi dan konsumsi baja yang bertumbuh, permintaan batubara kokas masih akan meningkat," jelasnya.

Adaro Energy memiliki 47,99% terhadap Kestrel Resources Pty Ltd yang memiliki 80% kepemilikan dalam Kestrel Joint Venture. ADRO menuntaskan akuisisi pada Agustus 2018 silam.

ADRO juga memproyeksi adanya peningkatan permintaan dari pasar ekspor seperti India, Eropa, Brasil dan Vietnam. Terutama India yang dinilai sebagai motor utama pertumbuhan permintaan lantaran ada peningkatan sektor konstruksi dan manufaktur.

"Produksi batubara dari Adaro MetCoal Companies (AMC) dijual ke para pelanggan di Jepang, Thailand, Indonesia, India, China dan Eropa, produksi dari Kestrel Coal Resources Pty. Ltd. ADRO menjual ke negara Jepang," sebut Ira.

Secara keseluruhan, ADRO menetapkan produksi batubara  54 juta ton-56 juta ton pada tahun ini. Dari target produksi tersebut, Adaro Energy berharap mampu mencapat target EBITDA operasional sebesar US$ 1 miliar hingga US$ 1,2 miliar pada tahun ini.

Saat ini mereka mencatat bahwa AMC memiliki sebanyak 1,27 miliar ton sumber daya batubara metalurgi premium yang berkualitas tinggi dengan kandungan abu dan fosfor yang sangat rendah. Selanjutnya untuk cadangan batubara kokas dari Kestrel sebesar 146 juta ton dan sumber daya sebesar 241 juta ton.

Tak hanya ADRO dan UNTR, induk usaha PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS) yaitu Golden Energy and Resources Limited (GEAR) juga merambah ke bisnis batubara kokas dengan mengakuisisi tambang coking coal milik Stanmore Coal di Australia senilai US$ 202 juta.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia menuturkan, prospek bisnis coking coal masih positif. "Karena suplainya juga tidak terlalu banyak, permintaan akan tetap tumbuh," kata dia, Minggu (17/3).

Memang, kini tak terlalu banyak perusahaan yang menjalani bisnis tersebut. Ia bilang, sejauh ini produsen terbesar coking coal dari Australia. Ia menyampaikan pemain batubara kokas dalam negeri memiliki peluang besar untuk bisnis ini. Selain itu harga untuk batubara ini juga lebih tinggi dan jauh lebih konsisten ketimbang thermal coal.

Di lain sisi, dia menambahkan beberapa kendala perusahaan yang ingin mencicipi bisnis ini harus merogoh kocek lebih karena lokasi tambangnya. Alhasil mereka perlu membangun infrastruktur untuk pengangkutan batubara lebih jauh. "Kendalanya untuk bisnis coking coal lebih ke infrastrukturnya, seperti sarana transportasi, jadi memerlukan investasi yang jauh lebih banyak. Kalau peluangnya masih bagus," pungkas Hendra.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati