Produsen batubara siap gugat royalti & bea keluar



JAKARTA. Pemerintah tak kompak soal bea keluar ekspor komoditas batubara. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menilai rencana Kementerian Keuangan mengutip bea keluar bisa mengganggu industri. Makanya, ESDM mengakomodasi keinginan pengusaha agar Kementerian Keuangan membatalkan rencana pungutan bea ekspor batubara.

Sukhyar, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM bilang, pengenaan bea keluar akan mengganggu kinerja pengusaha batubara. Sebab saat ini, harga batubara sedang rendah-rendahnya. "Secara lisan sudah kami sampaikan ke Kementerian Keuangan. Selasa (10/1) kemarin, kami juga sudah mengirim surat ke Badan Kebijakan Fiskal (BKF)," kata dia, Selasa (10/2).

Sementara BKF masih ngotot mengutip bea keluar ekspor batubara. Bahkan, agar mudah,  bea ekspor ini akan dimasukkan dalam perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) dan akan dituangkan di draf amandemen kontrak.


Alhasil, sembilan pemegang PKP2B yang semua sudah meneken berita acara kontrak anyar, balik mundur teratur lantaran adanya klausul baru berupa penerapan bea keluar. Pengusaha keberatan adanya pungutan bea ekspor dengan alasan membebani biaya produksi, sekaligus daya saing di pasar internasional.

Sukhyar menilai, pengenaan bea ekspor batubara juga bisa berdampak buruk bagi penerimaan negara di sektor pajak, bukan menggenjot penerimaan negara. "Di sisi lain kami juga akan menaikkan royalti bagi izin usaha pertambangan (IUP), sayang kalau perusahaan tidak ada profit maka tidak ada tax. Sehingga pemerintah tidak dapat apa-apa," ujar dia.

Sekadar mengingatkan, Kementerian ESDM telah berencana menerapkan kenaikan tarif royalti bagi IUP yang saat ini berlaku sebesar 3%, 5% dan 7% dari harga jual.

Tarifnya , akan dinaikkan menjadi 7%, 9%, dan 13,5%, dari harga jual. Perbedaan tarif tersebut sesuai dengan golongan kalori batubara yang dihasilkan.

Mengancam gugat

Pengusaha batubara menegaskan pungutan bea ekspor yang akan diberlakukan pemerintah jelas sangat memberatkan. Bahkan, "Akan banyak perusahaan yang terpaksa menurunkan kegiatan produksi atau menutup operasi tambang," kata Ekawahyu Kasih, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo).

Banyaknya perusahaan yang akan menutup usaha tentu bakal membawa konsekuensi pemutusan hubungan kerja (PHK). Selanjutnya volume ekspor dan penerimaan royalti ikut turun. Apalagi, pasar dalam negeri hanya mampu menyerap 25% dari total produksi batubara.

Waskito Tanuwijoyo, General Manager Exploration PT Bhakti Coal Resources bilang, saat ini penurunan harga jual batubara, telah membuat produsen batubara mengalami masa sulit karena margin yang sangat tipis. Jika ditambah kenaikan royalti sekaligus pungutan bea keluar, tentu akan menjadi beban ganda.

Perusahaannya melalui Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) juga siap mengajukan gugatan terhadap kebijakan pemerintah tersebut, baik kenaikan royalti maupun bea keluar.

"Kami sudah pasti bisa minus atau rugi, para produsen saya pikir akan protes melalui APBI untuk menolak penerapan itu," ujar Waskito.

Pengusaha akan kembali menggugat jika pemerintah mengeluarkan aturan bea keluar batubara.

Sebelumnya, pengusaha berhasil membatalkan pengenaan Bea Keluar dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 95/PMK.02/2005 tentang Penetapan Tarif Pungutan ekspor atas Batubara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan