Produsen Makanan dan Minuman Tipiskan Produksi Hingga 30%



JAKARTA. Perkiraan pengusaha makanan dan minuman tentang dampak krisis global baru mereka rasakan pada 2009 meleset. Dampak krisis ternyata sudah terasa pada November ini. Penurunan permintaan produk makanan dan minuman di pasar dalam negeri dan luar negeri mulai turun. Akibatnya, produsen makanan dan minuman terpaksa memangkas produksinya  hingga 30%. Secara total, produksi makanan dan minuman pada 2008 ini diperkirakan mencapai Rp 350 triliun.Penjualan produk makanan dan minuman yang paling anjlok, terutama yang masuk kategori pelengkap. Seperti, makanan ringan, cokelat dan permen. Sementara untuk makanan utama penurunan terbilang masih rendah. "Kita dulu mengira kami baru terdampak pada awal tahun 2009 ternyata lebih cepat," ujar Ketua Bidang Kerjasama dan Advokasi Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi Siswaja Lukman, Selasa (25/11).Utilitas produksi makanan minuman turun lantaran daya beli masyarakat saat ini lesu. Tanda-tanda penurunan sektor industri makanan dan minuman sudah terlihat pada semester pertama. Pengusaha menemukan, penjualan minus 3,4% di semester I 2008. Padahal, di awal tahun mereka menargetkan, penjualan tumbuh 5% dibandingkan 2007 yang tercatat mencapai Rp 340 triliun. Penyebab penurunan karena kenaikan harga bahan baku kala itu. Mereka berharap pada semester kedua ini, penjualan menunjukkan pertumbuhan. Meski, mereka yakin angkanya tak akan mencapai target sebesar 5%. Setidaknya, pengusaha berharap penjualan tumbuh 2%.Optimisme pengusaha muncul karena harga bahan baku saat ini menurun. "Pada 2008 ini kami memperkirakan industri makanan dan minuman bisa mencapai Rp 350 triliun sudah baik," kata Adhi.Tak ingin berputus asa, pengusaha mengeluarkan jurus agar penjualan tak jatuh lebih besar lagi. Caranya, misalkan mereka memperkecil ukuran produknya. Dengan begitu, biaya produksi maupun harga jual menjadi lebih murah.Sektor investasi makanan dan minuman juga tak menunjukkan kondisi yang baik. Sejak awal hingga akhir 2008, belum ada investasi baru di sektor makanan dan minuman. Penjajakan beberapa investor luar negeri misalnya Belgia belum jelas hingga kini. Hal ini kemungkinan karena para investor menunggu insentif dari pemerintah atau situasi ekonomi global membaik terlebih dulu.Ada keuntungan dari keengganan investor asing masuk. Bagi industri nasional adalah peluang untuk meningkatkan daya saing. Terlebih, beberapa waktu lalu, sebagai upaya antisipasi krisis, pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa sektor makanan dan minuman masuk dalam produk yang impornya dalam pengawasan. "Kalau pun asing masing  mereka bisa melakukan akuisisi untuk memperkuat bisnis lokal yang sudah ada. Manfaatnya kedua pihak bisa lebih cepat berkembang," ujar Adhi.Pada pasar ekspor makanan dan minuman tahun ini diperkirakan anjlok 20% dari total nilai Rp 30 triliun ke berbagai negara. Angka ini juga berlaku untuk perkiraan anjloknya ekspor makanan dan minuman ke Amerika yang nilainya mencapai Rp 6 triliun pada tahun ini.Direktur PT Olagafood Indonesia Djoekino mengakui jika industri makanan saat ini sulit. Walau tak menyebutkan angka pasti, mereka saat ini telah melakukan efisiensi hingga penurunan produksi. "Dampak krisis memang sudah terasa sekali di mana daya beli masyarakat turun," ujar Djoekino. Satu-satunya harapan mereka agar pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dapat membuat kondisi pasar di dalam negeri membaik. Baik kebijakan di bidang keuangan hingga untuk sektor riil. Ketua Umum Gapmmi Thomas Darmawan menambahkan, penurunan produksi terjadi pada industri berskala besar, kecil dan menengah. Khususnya, produsen makanan pelengkap  " Daya beli kita yang kurang berkembang yang mempengaruhi daya jual," ujar Thomas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: