Produsen Plastik Tunda Ekspansi US$ 300 Juta



JAKARTA. Tahun ini menjadi masa sulit bagi industri hilir plastik. Selain menghadapi permintaan yang melemah di pasar domestik dan ekspor, para produsen juga kesulitan mendapat pasokan bahan baku plastik berupa polypropylene dan polyethylene. Karena itu, sejumlah produsen menunda rencana ekspansi mereka di tahun ini. Nilai investasi yang tak jadi mereka benamkan pada 2009 ini mencapai US$ 200 juta-US$ 300 juta. “Kondisi saat ini tak memungkinkan kami untuk merealisasikan investasi. Paling cepat kami akan melakukannya di tahun 2010,” kata Ketua Umum Asosiasi Plastik Hilir Indonesia (Aphindo) Tjokro Gunawan, kemarin (14/9)Tjokro menjelaskan, pengusaha yang menunda ekspansi itu kebanyakan merupakan pelaku usaha di industri skala kecil dan menengah (IKM). Menurut Tjokro, permintaan kemasan plastik terus turun seiring melemahnya daya beli masyarakat. Pasalnya, selama ini, pembeli terbesar mereka adalah industri yang mengandalkan konsumsi masyarakat. Misalnya, industri makanan dan minuman dan industri kosmetika.Selain itu, sejak awal 2009 lalu, para pembuat produk hilir plastik juga mulai kesulitan memperoleh bahan baku. “Produsen bahan baku lokal tak sanggup memenuhi permintaan,” kata Tjokro. Pada Semester I-2009, papar Tjokro, industri hilir plastik yang memproduksi kemasan serta karung plastik kekurangan pasokan polypropylene sekitar 150.000-175.000 ton. Hingga akhir 2009, Aphindo meramal, angka defisit itu akan mencapai 325.000 ton.

Bea masuk tinggi

Menurut Menteri Perindustrian Fahmi Idris, pasokan polypropylene dan polyethylene seret karena sebagian besar nafta dan kondensat yang menjadi bahan pembuat dua produk ini masih diekspor. “Saat ini sekitar 75% nafta dan kondensat justru diekspor, sisanya untuk dalam negeri. Ke depan, persentase ini harus diubah menjadi 75% untuk lokal dan 25% ekspor, khususnya untuk kontrak-kontrak baru," katanya.


Sebenarnya, produsen kemasan plastik bisa saja mengimpor bahan baku. Tapi, kata Direktur PT Dynaplast Tbk (DYNA) Toni Hambali, bea masuk bahan baku plastik itu sangat tinggi dan harganya juga sedang mahal. Karena itu, produsen lebih memilih menunda ekspansi ketimbang memaksakan diri menambah kapasitas produksi tahun ini.

Dulu, papar Toni, bea masuk polypropylene dan polyethylene masih 5%. Lalu, dengan alasan merangsang investasi di sektor hulu, Maret lalu, pemerintah menaikkannya menjadi 10%-15%. “Ini membuat kami tidak kompetitif,” kata Toni.

Sementara, harga polyprophylene di pasar internasional juga naik, dari US$ 1.000 per ton di Januari jadi US$ 1.450 per ton pada Agustus lalu. Dynaplast merupakan produsen kemasan plastik untuk beberapa produk ternama seperti Clear, Dove, Baygon, Listerine, Lifebuoy, Vaseline, dan tempat krat Coca Cola.

Selain memiliki pabrik di Bekasi, Surabaya, dan Bali, Dynaplast juga memiliki pusat produksi di Thailand dan Vietnam. Pabrik yang mereka miliki berjumlah 12 unit, dengan kapasitas produksi mencapai 36.000 metrik ton perbulan.

Mengacu pada kondisi ini, Ketua Umum Asosiasi Kemasan Fleksibel Indonesia Felix S. Hamidjaja memperkirakan, pertumbuhan produksi industri hilir plastik pada 2009 ini hanya sekitar 7%-8%, turun dari pertumbuhan 2008 yang mencapai 15%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan