Profesi jurnalis, antara tuntutan idealisme dan masalah kesejahteraan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sekelumit persoalan pers Indonesia masih saja ada di tengah usianya yang semakin dewasa. Masalah ini bahkan tetap ada saat peringatan Hari Pers Nasional (HPN) Surabaya, Jawa Timur pada Sabtu (9/2).

Tema yang diangkat dalam peringatan HPN kali ini adalah "Pers Menguatkan Ekonomi Kerakyatan Berbasis Digital". Tema ini sepertinya menyematkan tambahan tanggung jawab bagi para insan pers Indonesia, di media mana pun.

Padahal, masih banyak pula tanggung jawab lain yang disampirkan di pundak seorang jurnalis melalui karya-karya jurnalistiknya. Tanggung jawab itu adalah independesi, kebenaran data, dampak sosial sebuah informasi, dan sebagainya.


Berbagai macam tanggung jawab yang dibebankan kepada kalangan pers sepertinya tak sebanding jika melihat kesejahteraan jurnalis.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) baru-baru ini merilis survei tahunan mengenai upah layak jurnalis pemula di DKI Jakarta pada 2019 adalah Rp 8,42 juta. Ini mengacu pada Upah Minimum Reguler (UMR) kawasan Ibu Kota pada tahun yang sama adalah Rp 3,9 juta.

Fakta di lapangan, berdasarkan temuan AJI, masih terdapat 10 media di Jakarta mengupah jurnalis pemulanya di bawah UMR yang ada. Angka itu jelas, masih sangat jauh dari angka layak sebagaimana disuarakan.

Idealisme

Meski begitu, menurut Ketua Umum AJI Abdul Manan persoalan kesejahteraan tidak menjadi alasan bagi jurnalis untuk menggadaikan idealismenya. "Memang harus diakui bahwa kesejahteraan jurnalis kita memang masih jauh dari harapan. Tapi bagi AJI, kesejahteraan yang belum memadai ini hendaknya jangan dijadikan dalih bagi jurnalis untuk menerima uang atau pemberian," kata Manan saat dihubungi Kompas.com Jumat (8/2) sore.

Hal itu tidak dibenarkan, karena sesuai kode etik jurnalistik, seorang jurnalis tak diperkenankan menerima pemberian atau suap dari pihak-pihak luar. Suap dikhawatirkan dapat memengaruhi independensi dan idealisme seorang jurnalis.

"Yang harus dilakukan bagi jurnalis yang kesejahteraannya kurang adalah dengan memperjuangkan haknya itu ke medianya, bukan malah menerima dari pihak lain," ucap Manan.

Berbicara idealisme, keyakinan itu pasti tertanam dalam diri setiap pekerja profesi, apa pun itu, tidak hanya di bidang pers. Akan tetapi, faktor-faktor yang menggoyahkan idealisme juga tak bisa kita hindarkan.

Faktor-faktor itu akan semakin memiliki daya dan arti, ketika idealisme yang semula dijunjung tinggi jurnalis nyatanya tidak mampu mengantarkannya pada kesejahteraan. Kesejahteraan masih sekadar angan-angan.

Komparasi

Realita jurnalis di Indonesia sepertinya jauh dari rekan seprofesinya di negara lain, misalnya di Amerika Serikat. Biro Statistik Tenaga Kerja AS, The US Bureau of Labor Statistics (BLS) menyebutkan rata-rata upah seorang jurnalis pewarta atau koresponden di AS adalah US$ 37.820  per tahun (Rp 528,8 juta) atau per jamnya  US$ 18,18  (Rp 254.000). 

Untuk reporter di media kecil, mereka dapat memperoleh upah US$ 20.000 - US$ 30.000 dollar (Rp 279 juta - Rp 419 juta) per tahun. Jika di bagi dalam hitungan bulan, maka seorang reporter di media kecil AS akan menerima Rp 23 juta – Rp 35 juta.

Sementara di media yang lebih besar, seorang jurnalis bisa mengantongi upah US$ 35.000 – US$ 55.000 dollar (Rp 489 juta-Rp 769 juta) bahkan lebih dari US$ 60.000 (Rp 838 juta) dalam setahun bekerja. Besaran-besaran di atas adalah upah untuk seorang jurnalis biasa atau baru.

Untuk editor dan jabatan di atasnya, tentu akan memperoleh jumlah yang lebih besar. Belum selesai disitu, permasalahan lain yang selalu membayangi seorang jurnalis adalah tindak persekusi yang kapan pun bisa dialamatkan kepadanya.

Berapa banyak jurnalis yang kemudian harus kehilangan hak bahkan nyawanya, karena dinilai mengancam posisi satu pihak? Meski begitu, bagaimanapun kondisinya jurnalis tetap mesti berpegang pada kode etik. Selamat Hari Pers Nasional!  (Luthfia Ayu Azanella)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Profesi Jurnalis, antara Tuntutan Idealisme dan Masalah Kesejahteraan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli