KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Cerita kopi tak hanya sekadar memilih biji arabika, robusta maupun liberika. Bukan juga tentang membakar, menggiling dan menyeduh dengan berbagai teknik. Tapi tentang petani, lahan, dan perdagangan. Menjadi petani kopi kini merupakan kebanggaan bagi masyarakat Jambi. Tingginya minat masyarakat, terutama kalangan muda, pada model nongkrong baru ini menjadi motivasi yang besar untuk kembali menggemburkan tanah untuk tanam kopi. Mulyadi, seorang petani kopi Jambi dan pegiat pelatihan petani menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun silam, kotanya kini dijamuri oleh kafe berkat makin tingginya minat masyarakat pada kopi. Hal ini menurutnya menjadi kebanggaan lantaran kontras dengan pengalamannya beberapa tahun silam dimana muda-mudi lebih suka menenggak arak.
Namun cerita kopi dari sisi petani tidak selalu menawan. Jelas sebagai kalangan dengan pendidikan relatif terbatas, petani kadang tidak memahami bagaimana rantai panjang kopi dari benih, tanam, penanganan paska panen hingga pengemasan dapat mempengaruhi nilai tukar kopi. Seperti pada umumnya, petani acapkali memanen kopi dengan sembarang dan menyatukan buah kopi (cherry) dari berbagai varian ke satu wadah. Hasilnya,
greenbean yang diproses tidak standar dan kacau. Padahal bila disortir dengan benar, maka dapat divaluasi sesuai kategori jenis tanaman, lokasi tumbuh dan proses pencuciannya. "Dulu sebelum kami beri pelatihan, petani biasa jual cherry Rp 18.000 per kilogram, tapi setelah diajarkan proses panen yang benar, sortir yang benar, harga bisa standar Rp 26.000 - Rp 40.000 tergantung kopinya," jelas Mulyadi saat ditemui Kontan.co.id, pada pembukaan acara Festival Kopi Nusantara yang diselenggarakan Kompas bersama BUMN dan Bank BRI pada Kamis (19/7). Kemudian dengan penanganan yang tepat, harga kopi cherry yang diolah menjadi
greenbean bisa melonjak lagi menjadi Rp 90.000 - Rp 140.000 per kilogram. Faktor penentunya jelas adalah kualitas dan keseragaman biji kopi dalam kemasan. Tak hanya itu, bila kopi yang dijual sudah memiliki standar penilaian dari asosiasi
cupping, maka harganya bisa lebih tinggi lagi. Mulyadi melanjutkan, berkat animo masyarakat yang tinggi, pemerintah daerah Jambi kemudian menampung komitmen untuk menjadikan Kota Sungai Penuh, Jambi, menjadi Kota Kopi pada tahun 2019 depan. Rencananya, pemerintah daerah dan Kementerian Perindustrian bakal mengembangkan kawasan tersebut menjadi lokasi wisata, produksi dan pengolahan kopi yang terpadu. Lebih jauh soal petani, Fajar Sumantri Koordinator Program Konsorsium Kota Agung Utara Lampung Indonesia (KORUT) menceritakan sepak terjang mendayakan petani kopi di 13 kecamatan di Lampung dengan total area seluas 43.000 ha. Area tersebut merupakan lahan Hutan Kemasyarakatan (HKM) yang berada di naungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sebagai bagian dari LSM, Fajar dan rekannya mengadakan pelatihan dan pendampingan petani kopi. Tak hanya itu, mereka juga membangun sistem fasilitas simpan pinjam melalui koperasi primer, dan bantuan teknis perdagangan melalui koperasi sekunder. "Jadi saat ada pembeli dalam jumlah besar, kami pertemukan petani dan pembeli di koperasi sekunder agar ada penjaminan stok dan mengamankan harga belinya," jelas Fajar. Menurutnya, medio tengah menjadi penting untuk menjaga transparansi kualitas dan harga. Pasalnya, selayaknya komoditas di Indonesia, masih terdapat banyak perantara nakal yang meraup untung besar dari mata rantai kopi. Nah sebagai komoditas ekspor, Direktur Agrotropic Nusantara Emma Fatma angkat cerita soal produknya yang sudah mendunia. Dalam setahun, perusahaannya dapat menyediakan hingga 20 kontainer kopi yang tiap kontainer berisi 19 ton
greenbean. Kopi tersebut kemudian diekspor ke pelanggan di berbagai belahan dunia seperti Belanda, Jerman, Inggris, China dan Amerika Serikat. "Bahkan juga untuk
trader yang menyediakan stok kopi Sumatra untuk Starbucks," kata Emma.
Namun dibaliknya gemerlap menjadi salah satu suplier merek kopi mumpuni dari AS tersebut, Emma justru lebih bangga memaparkan perawatan dan profesionalitas perusahaan dalam bersinergi dengan petaninya. Lahan Agrotropic membentang di wilayah Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Jambi. Emma menjelaskan, sebelum menjadi perusahaan pada tahun 2009, Agrotropic dimulai sebagai proyek LSM untuk memajukan kualitas masyarakat Jambi. Karena itu pemberdayaan dan kesejahteraan petani menjadi kunci penting perusahaan. Bahkan dalam perdagangan di tingkat petani, biji kopinya dihargai dengan acuan harga internasional. Menurut Emma, hal ini yang menjadikan petani kopi di lokasinya memiliki kebangaan dan kualitas kerja yang unik. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati