Profil Muhammad Yunus, Pemimpin Interim Bangladesh Peraih Nobel Perdamaian Tahun 2006



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bangladesh telah memasuki babak baru dalam sejarah politiknya dengan kedatangan Muhammad Yunus sebagai pemimpin interim setelah pengunduran diri Perdana Menteri Sheikh Hasina.

Yunus, seorang penerima Nobel Perdamaian, tiba di Bandara Internasional Hazrat Shahjalal, Dhaka, dan disambut oleh para petinggi militer serta para aktivis mahasiswa yang berperan penting dalam mengakhiri rezim Hasina. 

Kedatangan Muhammad Yunus

Muhammad Yunus tiba di Bangladesh setelah menghadiri Olimpiade di Paris. Kedatangannya disambut dengan pengamanan ketat oleh militer, sebuah langkah yang mencerminkan ketegangan yang masih membayangi negara tersebut pasca pengunduran diri Sheikh Hasina.


Di bandara, Yunus disambut oleh Jenderal Waker-Uz-Zaman, yang diapit oleh para pemimpin angkatan laut dan udara, serta para aktivis mahasiswa yang sebelumnya telah mengusulkan Yunus sebagai pemimpin interim kepada Presiden Mohammed Shahabuddin.

Baca Juga: Muhammad Yunus Ditunjuk Jadi Penasihat Utama Pemerintah Sementara Bangladesh

Keamanan di sekitar bandara sangat diperketat mengingat situasi yang tidak menentu di Bangladesh. Setelah jatuhnya Hasina, negara ini mengalami kerusuhan yang menyebabkan ratusan kematian dan ketidakstabilan yang meluas.

Yunus sendiri dalam pernyataannya mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dan menghindari kekerasan, menekankan bahwa "kekerasan adalah musuh kita."

Latar Belakang Muhammad Yunus

Muhammad Yunus dikenal dunia sebagai peraih Nobel Perdamaian pada tahun 2006 atas dedikasinya dalam mengembangkan pasar mikro kredit yang membantu jutaan orang miskin di Bangladesh. Namun, peran barunya sebagai pemimpin interim menandai perubahan besar dalam karirnya yang sebelumnya lebih fokus pada pemberdayaan ekonomi.

Sebagai pemimpin interim, Yunus menghadapi tantangan besar. Ia harus memulihkan ketertiban dan membangun kembali negara yang sedang terpecah belah akibat konflik politik yang berkepanjangan.

Yunus diharapkan dapat memfasilitasi proses transisi menuju pemerintahan yang lebih demokratis, namun tantangan terbesar mungkin datang dari sisa-sisa kekuatan politik lama yang masih memiliki pengaruh besar, termasuk keluarga Sheikh Hasina.

Baca Juga: Euforia Menyeruak di Bangladesh setelah Perdana Menteri Kabur ke India

Pengunduran diri Sheikh Hasina menandai akhir dari 15 tahun kekuasaannya yang semakin otoriter. Di bawah pemerintahannya, Bangladesh mengalami berbagai krisis, termasuk tuduhan pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan pemilihan yang tidak kredibel.

Mundurnya Hasina juga mengungkapkan kerentanan dinasti politik di Bangladesh, di mana keluarga sering kali memainkan peran penting dalam pemerintahan.

Sajeeb Wazed Joy, putra Hasina, awalnya menyatakan bahwa keluarganya tidak akan lagi terlibat dalam politik. Namun, pernyataan tersebut berubah ketika Joy mengumumkan bahwa mereka tidak akan meninggalkan politik setelah serangan terhadap pemimpin dan anggota Liga Awami, partai yang dipimpin oleh Hasina.

Joy menekankan bahwa partainya akan tetap berperan penting dalam masa depan Bangladesh.

Masa Depan Bangladesh

Dengan Yunus di pucuk pimpinan, Bangladesh menghadapi masa depan yang penuh tantangan. Pertanyaan tentang kapan pemilihan umum akan diadakan masih belum terjawab, dan stabilitas jangka panjang negara ini masih diragukan.

Meskipun Yunus telah menunjukkan niat baik untuk memulihkan ketertiban dan membangun pemerintahan yang lebih inklusif, masih banyak yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa transisi ini berjalan dengan lancar dan tanpa kekerasan lebih lanjut.

Bangladesh kini berada di persimpangan sejarahnya. Mampukah Yunus membawa negara ini ke era baru demokrasi, atau akankah kekuatan lama kembali menguasai panggung politik? Waktu yang akan menjawab.

Editor: Handoyo .