Profit Taking di Pasar Saham, Dana Asing Masih Beredar di Dalam Negeri



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar saham Indonesia terkena tekanan jual asing sejak awal tahun. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang merupakan indeks seluruh saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) turun 2,37% sejak awal tahun. Pada periode yang sama, BEI mencatat nilai jual bersih atau net sell investor asing yang mencapai Rp 5,5 triliun.

Penurunan indeks saham di Indonesia ini paling dalam di ASEAN, bahkan di kawasan Asia Pasifik menurut data BEI per Jumat (13/1). Sementara indeks saham Asia dengan kenaikan terbesar adalah indeks Hang Seng di Hong Kong yang menguat 9,94% sejak awal tahun, disusul oleh Kospi di Korea Selatan yang menguat 7,31% dan Filipina yang menguat 7,30%.

Head of Equity Research Mandiri Sekuritas Adrian Joezer menuturkan penurunan ini salah satunya disebabkan oleh profit taking oleh investor asing. Investor asing melakukan profit taking karena dari sisi pertumbuhan EPS melambat di 2023.


Adrian memproyeksikan earning per share (EPS) akan turun. Hal ini dipengaruhi oleh melandainya harga saham perusahaan komoditas, termasuk batubara. Mandiri Sekuritas memproyeksikan EPS pada IHSG secara tahunan tumbuh 1,6%. Nilai ini lebih rendah dari pertumbuhan EPS di 2022 sebesar 56,7%. 

Baca Juga: Simak Proyeksi Pergerakan IHSG dan Rekomendasi Saham untuk Pekan Ini

Selain itu, aksi profit taking ini akibat migrasi dana asing ke pasar saham lain yang lebih murah, terutama China. Apalagi setelah Tiongkok membuka perbatasan sejak akhir pekan lalu. 

"Ada shifting ke Tiongkok karena lebih murah valuasinya dan dari sisi pertumbuhannya mengalami akselerasi. Tiongkok mengalami re-opening seperti yang Indonesia di 2021 dan 202," kata Adrian, Selasa (10/1). 

Mandiri Sekuritas memprediksi price to earning ratio (PE) indeks Tiongkok mencapai 11,3 kali pada akhir 2023. Sementara PE IHSG di akhir tahun ini mencapai 14,2 kali. Namun, Adrian bilang risiko terhadap pelemahan pertumbuhan laba bersih sudah priced in oleh pasar. Saat ini IHSG sudah bisa sejalan dengan Malaysia dan Filipina, tapi masih kalah dengan Tiongkok. 

Baca Juga: Tren Kenaikan Bunga Melandai, MI Mulai Mengubah Strategi

Dana Asing di Obligasi Negara

Kondisi berkebalikan terjadi di pasar obligasi. Kepemilikan asing pada surat utang negara (SUN) justru meningkat di dua pekan awal 2023. 

Menurut data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, kepemilikan asing pada total surat berharga negara meningkat Rp 15,58 triliun sejak awal tahun hingga Kamis (12/1). Penambahan kepemilikan bersih asing ini tiga kali lipat dari net sell asing di pasar saham.

Meski mulai naik, porsi kepemilikan asing di SBN masih berada di 14,58%, naik tipis dari posisi awal tahun yang ada di 14,37%. Porsi asing di SBN ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan awal 2022 yang masih 19,10%.

Imbal hasil SUN tenor 10 tahun seri FR0096 kemarin berada di 6,73%, naik tipis dari 6,66% yang merupakan level terendah sejak penerbitan pada 19 Agustus 2022.

Presiden dan CEO PT Pinnacle Persada Investama Guntur Putra menilai, tren masuknya dana asing (capital inflow) masih akan terus berlanjut secara bertahap seiring tingkat inflasi yang terjaga. The Fed maupun Bank Indonesia (BI) juga akan memperkecil laju kenaikan suku bunga. Dengan kata lain, kenaikan suku bunga tidak seagresif seperti di 2022.

Baca Juga: Pekan Kedua 2023, Arus Modal Asing Masuk Rp 9,95 Triliun

Rupiah Menguat di Awal Tahun

Peningkatan dana asing di pasar obligasi Indonesia turut menyokong nilai tukar rupiah. Kemarin, kurs rupiah dia pasar spot menguat 0,69% ke Rp 15.045 per dolar AS, bahkan sempat menguat hingga Rp 14.983 per dolar AS. Kurs rupiah menguat 3,39% sejak awal tahun hingga Senin (16/1).

Rupiah menjadi mata uang Asia dengan penguatan terbesar kedua setelah baht Thailand. Menurut data Bloomberg, nilai tukar baht menguat 4,56% terhadap dolar AS. Di posisi ketiga ada yuan yang menguat 2,37% sejak awal tahun. 

Senada, Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C. Permana mengatakan, masih banyak tantangan yang dihadapi rupiah, terutama dari pergerakan The Fed dalam menaklukkan inflasi di AS.

“Ini baru tiga minggu awal 2023. Ke depan, market akan masih melihat diferensiasi antara Bank Indonesia (BI) dengan The Fed. Mungkin itu akan mempengaruhi pergerakan dari rupiah dan dolar AS,” kata Fikri kepada Kontan.co.id, Senin (16/1).

Baca Juga: Suku Bunga BI Bisa Naik 25 Bps, Cermati Arah IHSG dan Rekomendasi Saham Pekan Ini

Fikri memaparkan, apresiasi rupiah dipengaruhi oleh pelemahan indeks dolar AS. Rupiah menguat karena faktor global juga, termasuk penurunan indeks dolar AS dan reopening perekonomian China.

Nilai rupiah juga akan sangat bergantung dengan pengumuman pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Kamis ini. Dengan risiko yang masih cukup tinggi termasuk adanya kemungkinan The Fed pada Februari 2023, akan cukup sulit melihat apa yang akan dilakukan BI pada Kamis ini.

Namun, Fikri memprediksi BI akan mempertimbangkan untuk menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin, dari 5,5% menjadi 5,75%. Hal itu, kata Fikri, akan menjaga rupiah relatif lebih stabil. Tapi Fikri menegaskan BI masih punya banyak pekerjaan rumah untuk membuat rupiah stabil.

Baca Juga: Setoran Cadangan Devisa Tergantung Hot Money

“BI harus mempertimbangkan ekspektasi dari risiko gejolak global saat The Fed menaikkan suku bunganya di awal Februari. BI harus menjaga interest rate differential dan perlu menjaga ekspektasi pro-stability terkait rupiah,” ungkap dia.

Di sisi lain, ada juga risiko lain di dalam negeri yang harus diperhatikan, yaitu bagaimana BI bisa mengatur inflasi di dalam negeri. Inflasi yang masih ada di kisaran 4%-6% menyebabkan bank sentral juga harus mempertimbangkan daya beli masyarakat.

“Selain itu, ada juga dampak dari sisi politik di akhir tahun yang bisa menjadi salah satu faktor yang goncangan rupiah,” kata Fikri.

Fikri memprediksi rupiah akan berada di kisaran Rp 15.300 per dolar AS–Rp 15.600 per dolar AS di akhir tahun 2023.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati