KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah sedang menggodok aturan terkait rencana untuk melakukan hapus buku dan hapus tagih kredit macet UMKM bersamaan dengan rencana pemutihan utang atau kredit macet dari petani dan nelayan yang menumpuk. "(Aturan pemutihan utang UMKM) Ini dalam proses, mudah-mudahan dalam waktu tidak terlalu lama ini bisa diselesaikan," ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers, Minggu (3/11). Kebijakan hapus dan tagih kredit macet UMKM disusul pemutihan utang kredit macet petani dan nelayan tak hanya akan menguntungkan para debitur yang bermasalah, namun juga menguntungkan Bank BUMN.
Perlu diketahui, hapus buku dan hapus tagih adalah tindakan terakhir yang dilakukan bank terhadap kredit macet yang sudah tidak bisa ditagih lagi. Ini juga akan berpengaruh pada pemutihan SLIK OJK, yang artinya para petani dan nelayan tidak lagi di blacklist dari data perbankan, sehingga mereka bisa Kembali mengajukan kredit dan pembiayaan. Pasalnya, selama ini bank BUMN hanya bisa menghapus bukukan kredit macet, sehingga baik UMKM termasuk petani dan nelayan tetap terdata di SLIK OJK karena belum melunasi utangnya.
Baca Juga: Ini Tren Hapus Buku yang Telah Dilakukan Bank BUMN per September 2024 Di sisi lain, dampak ke bank BUMN setelah dilakukannya hapus buku dan hapus tagih adalah penurunan pencadangan (CKPN), mengingat pencadangan yang sebelumnya dibentuk untuk kredit tersebut juga akan dihapus karena kredit sudah dianggap tidak memiliki nilai lagi. Begitu pun dengan pengurangan beban provisi yang sejalan dengan penurunan CKPN, sehingga bank tidak lagi mengalokasikan biaya untuk menutupi potensi kerugian akibat kredit macet yang disebabkan kedua sektor tersebut (pertanian dan perikanan). Dengan demikian, maka kualitas aset bank akan mengalami perbaikan atau peningkatan aset, mengingat kredit macet dari sektor bermasalah tersebut telah tiada dan rasio NPL akan menurun, serta juga berpotensi berdampak pada peningkatan profitabilitas bank. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae juga menegaskan, bahwa rencana pemerintah untuk melakukan pemutihan utang petani dan nelayan tidak akan merugikan negara. "Pemutihan kredit macet petani dan nelayan tidak merugikan Negara, dan ini sebenarnya spesifik untuk Bank BUMN, kalau bank swasta sudah biasa melakukan pemutihan ini," ungkap Dian belum lama ini. OJK dan Bank BUMN sampai saat ini masih menunggu aturan dari pemerintah, mencakup aspek kriteria nominal dan jangka waktu serta asesmen cakupan data yang ditentukan agar tercapainya tujuan kebijakan ini. Baik OJK dan bank BUMN mendukung sepenuhnya terkait rencana pemerintah tersebut. Jika menilik laporan keuangan dari masing-masing bank BUMN di jajaran KBMI 4, sepeti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) yang mencatat penyaluran kredit ke sektor pertanian mencapai Rp 194,77 triliun per September 2024, naik secara
year to date dari Rp 170,82 triliun per Desember 2023. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 9,27 triliun masuk ke dalam kategori kredit bermasalah. Sejalan dengan itu, BRI sendiri berdasarkan laporannya telah melakukan pencadangan secara total kredit termasuk sektor pertanian sebesar Rp 86 triliun, meskipun tidak dirincikan untuk sektor pertanian berapa besarannya. Direktur Utama BRI Sunarso menyatakan, kebijakan ini masih ditunggu-tunggu oleh Bank BUMN, namun menurutnya yang yang paling penting adalah penetapan kriteria dari kebijakan tersebut agar tidak menimbulkan moral hazard. "Sebenarnya yang paling penting dari kebijakan ini adalah pemutihan dari blacklist agar orang-orang tersebut masih bisa berusaha, memiliki akses pembiayaan, dan bisa berusaha lagi," ungkap Sunarso belum lama ini. Posisi terbesar kedua setelah BRI, adalah PT Bank Mandiri Tbk, yang mencatat kredit ke sektor pertanian mencapai Rp 150,63 triliun per September 2024. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 1,30 triliun masuk kategori kredit bermasalah. Bank Mandiri telah mengalokasikan pencadangannya ke sektor ini sebesar Rp 1,07 triliun. Sementara itu PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) per September 2024 mencatatkan penyaluran kredit ke sektor pertanian tercatat mencapai Rp 48,25 triliun meningkat secara ytd dari Rp 53,85 triliun per Desember 2023. Dari jumlah tersebut, yang masuk kategori bermasalah tercatat sebesar Rp 1,6 triliun per September 2024. Adapun BNI telah mengalokasikan pencadangan sebesar Rp 1,20 triliun.
Corporate Secretary BNI Okki Rushartomo Budiprabowo menyatakan, pihaknya masih menunggu aturan turunan yang akan menjadi petunjuk pelaksanaan dari pemutihan utang petani dan nelayan yang tersebut. Meski begitu rencana pemerintah melakukan hapus tagih pinjaman UMKM petani dan nelayan diharapkan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan memungkinkan mereka untuk mendapatkan kembali sumber pendanaan dari bank.
"Terutama bagi debitur UMKM yang jatuh ke NPL disebabkan oleh force majeure (bencana) atau terdampak Covid-19. Kebijakan BNI dalam hapus buku dan hapus tagih harus melalui evaluasi mendalam agar tidak terjadi moral hazard," ungkap Okki. Lebih lanjut Okki menyatakan, salah satu antisipasi yang dilakukan BNI yakni dengan membentuk CKPN untuk semua segmen debitur UMKM sesuai kebutuhan.
Baca Juga: Soal Aturan Pemutihan Utang UMKM, Ini Penjelasan Airlangga Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati