KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kasus dugaan korupsi ekspor minyak sawit mentah atau
crude palm oil (CPO) di Kementerian Perdagangan (Kemendag) terus bergulir di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Salah satu poin yang menarik dari persidangan ini adalah Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjadikan bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 6 triliun yang digelontorkan pemerintah sebagai bagian dari perhitungan kerugian keuangan negara. Demikian juga dengan kebijakan penerbitan persetujuan ekspor CPO masuk dalam perhitungan kerugian negara sebesar Rp 12,3 triliun, sebagaimana tertera dalam dakwaan JPU.
Praktisi hukum Hotman Sitorus mengatakan BLT yang dijadikan sebagai kerugian negara tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 25/PUU-XIV/2016. Di mana dalam keputusan itu MK menyatakan penghitungan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dalam perkara korupsi harus nyata dan pasti.
Baca Juga: Kebijakan DMO dan DPO Sawit Dinilai Bisa Hambat Pertumbuhan Ekonomi Indonesia “Bagaimana hal itu kemudian dianggap sebagai kerugian keuangan negara dengan jumlah yang sangat fantastis. Apalagi, penghitungannya dilakukan seolah-olah ekspor CPO beserta turunannya sama dengan penjualan produk terlarang,” kata Hotman dalam keterangan tertulis, Kamis (29/9). Menurut Hotman, dakwaan dengan menggunakan Pasal 18 Undang-Undang Tipikor bukan hanya berlebihan, tetapi justru melawan hukum. Apalagi dalam beberapa kesaksian, terungkap bahwa jika proses pengurusan persetujuan ekspor CPO telah sesuai dengan prosedur. Sehingga dugaan korupsi dalam pengurusan PE CPO tidak terpenuhi. Hotman menambahkan, terdakwa kasus dugaan korupsi pemberian izin ekspor CPO tak bisa dijatuhi sanksi pidana karena berstatus korban inkonsistensi kebijakan di Kemendag. Tuduhan korupsi Persetujuan Ekspor (PE) minyak goreng berawal dari aturan pemerintah terkait dengan 20% kewajiban
domestic market obligation (DMO), dan ketentuan harga penjualan di dalam negeri (DPO) atas komoditas CPO dan turunannya.
Baca Juga: Rekomendasi Ombudsman Serahkan Mekanisme Pasar “Aturan tersebut, syarat mutlak bagi para produsen CPO, dan turunannya, untuk mendapatkan PE CPO dan turunannya ke luar negeri. Hal tersebut dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya kelangkaan, dan pelambungan harga tinggi komoditas minyak goreng sejak akhir 2021 lalu,” kata Hotman.
Akademisi Universitas Indonesia yang juga Ketua Tim Peneliti LPEM-UI Eugenia Mardanugraha menambahkan gonta-ganti kebijakan DMO dan
Domestic Price Obligation (DPO) menimbulkan risiko ketidakpastian dan menciptakan inefisiensi dalam perdagangan minyak sawit. Karena selama lebih dari 6 bulan diterapkan, kebijakan
non tariff barrier ini justru membatasi volume ekspor yang berimbas pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain itu, petani sawit jadi pihak yang paling dirugikan dalam larangan ekspor CPO karena berdampak pada anjloknya harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli