KONTAN.CO.ID - YOGYAKARTA. Upaya PT PLN (Persero) untuk melaksanakan program dedieselisasi atau konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang masih beroperasi di wilayah terpencil harus dilakukan dengan penuh pertimbangan matang dan kehati-hatian. Terlebih, data dari Outlook Energi Indonesia memperlihatkan bahwa kinerja pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor energi sudah berada jauh di bawah Paris Agreement, yakni sebesar 29% pada 2030. Akademisi Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Prof Mukhtasor, Ph.D melihat ada persepsi bahwa penurunan emisi harus dilakukan dengan membeli teknologi yang mahal di bidang energi.
Padahal, laporan yang dibuat oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 2020 tersebut menunjukkan bahwa proyeksi emisi karbon pada 2030 sektor energi sudah di bawah target yang ditetapkan.
Baca Juga: Punya Beragam Proyek EBT, Pertamina NRE Genjot PLTS Atap, Panasbumi, dan PLTGU "Untuk sektor energi penurunan karbon kita sudah
on the track. Yang belum memenuhi adalah kehutanan, tetapi kenapa yang didorong-dorong adalah sektor energi!" tegasnya saat menjadi pembicara pada seminar 'Renewable Energy Technology as a driver for Indonesia’s De-Dieselization' yang dilaksanakan di Hotel Ambarrukmo, Yogyakarta, Rabu (23/3). Oleh karena itu, dalam menjalankan program dedieselisasi, PLN harus memaksimalkan kekuatan nasional dalam pengembangan teknologi EBT di dalam negeri. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menyebutkan tujuan pertama dari kebijakan energi nasional sejatinya adalah kemandirian energi. Setelah negara mampu mencapai hal tersebut, baru dapat dicapai tujuan selanjutnya untuk memperkuat ketahanan energi Nasional. "Transisi energi adalah proses yang kompleks. Proses ini tidak hanya melibatkan sektor energi, tetapi juga menuntut adanya transformasi ekonomi. Di mana pengembangan teknologi baru akan menjadi sumber pendapatan untuk proses transisi yang berkelanjutan," jelas dia. Dia pun berpesan agar dalam menjalankan program dedieselisasi, peran PLN sebagai pengembang dan operator utama pembangkit harus tetap dipertahankan. Menurutnya, keberadaan Independent Power Provider (IPP) memang penting untuk mengembangkan teknologi baru, akan tetapi jika terlalu banyak pembangkit dikelola IPP, fungsi PLN hanya akan menjadi distributor saja.
Baca Juga: PLN Gunakan Skema Kluster untuk Lelang Konversi PLTD Tahap I Menurutnya,
pilot project skema dedieselisasi secara hybrid menggunakan Automatic Generation Controller & Grid Monitoring System untuk Mini Grid di sistem Sumba Timur yang bekerja sama dengan United States Agency for International Development (USAID) dapat menjadi contoh nyata. Bahkan, menurut Director of Advance Energy System USAID Hanny J. Berchmans proyek ini berhasil memberikan manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat pulau terpencil.
"Dengan menggunakan PLTS dan PLTD secara bersamaan, sistem Sumba Timur mampu menghasilkan listrik yang stabil dan tidak pernah padam selama 24 jam. Bahkan, kestabilan sistem mencapai 100% dengan memanfaatkan hanya 25% energi surya tanpa penggunaan baterai," paparnya. Senada,
Head of Public Sector and Social Sector Practices in Africa McKinsey & Company, Adam Kendall, pun melihat dedieselisasi menjadi kesempatan bagi PLN untuk mengurangi ketergantungan terhadap baterai, yang saat ini menjadi komponen termahal dalam pengembangan PLTS sebagai
baseload. Hanya saja, dirinya mengingatkan sesuai dengan pengalamannya di Afrika, bahwa tahap pembangunan adalah proses yang terhitung mudah. "Bagaimana dedieselisasi ini mampu meningkatkan skala ekonomi secara signifikan, dan dapat mendukung pembangunan daerah yang berkelanjutan menjadi satu hal yang harus terus dijaga," kata Adam. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .