KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Program hilirisasi mineral di Indonesia khususnya nikel dan tembaga dinilai sejumlah pihak sudah cukup berhasil. Namun sayang, pencapaian tersebut belum diiringi dengan kesiapan dalam negeri menyerap mineral-mineral bernilai tambah tersebut sehingga produk tersebut masih lebih banyak dijual ke luar negeri. Wakil Ketua Umum Bidang ESDM Kadin Indonesia, Carmelita Hartoto menyatakan hilirisasi dengan tujuan memberikan nilai tambah pada hasil tambang patut diapresiasi dan sebagian besar telah menunjukkan hasil yang cukup baik, terutama pada nikel dan tembaga. “Tetapi tentu saja belum berhasil pada semua hasil tambang nasional, dalam arti
end product dihasilkan dan diserap pada industri dalam negeri untuk diekspor atau digunakan sendiri,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Selasa (25/10).
Carmelita menyatakan, meskipun program hilirisasi sudah cukup berhasil tetapi penyerapan di dalam negeri belum maksimal.
Baca Juga: Bahlil: Larangan Ekspor Timah Bakal Jadi Nilai Tambah Bagi Penerimaan Negara Dia memberikan gambaran, sudah sejak lama timah dan bauksit melakukan hilirisasi meski baru setengah jadi. Ekspor biji timah dan biji bauksit pun juga sudah lama dilarang. Saat ini sudah ada smelter-smelter yang menghasilkan timah batangan atau tin ingot dan aluminium batangan atau aluminium ingot. Adapun produk ini sudah diekspor dalam bentuk ingot dengan kadar 99,9 pct. Walau demikian, saat ini belum banyak industri yang dibangun di dalam negeri yang bisa menyerap timah batangan dan aluminium batangan tersebut. Maka itu, Carmelita menilai banyak kebijakan atau program yang harus dilakukan oleh Pemerintah, di antaranya kemudahan berinvestasi membangun industri hilir, baik dalam fiskal dan moneter. Kemudian memberikan proteksi penggunaan bahan baku dalam negeri. “Sebagai contoh industri pesawat terbang dan
interior gerbong kereta api harus menggunakan aluminium sheet dalam negeri atau stop impor bahan baku dari luar negeri,” terangnya. Menurut Kadin, pelarangan ekspor sejumlah mineral yang digagas oleh Presiden Joko Widodo sebelumnya, harus juga memperhatikan peta produk hulu dan hilirnya lalu ditetapkan peta jalan (roadmap) untuk menuju hilirisasi tersebut. Saat ditanya kapan waktu yang ideal menerapkan pelarangan ekspor tin ingot, Carmelita menjawab, sangat tergantung pada langkah-langkah kebijakan yang bisa diberikan, semisal dilakukan secara bertahap atau dengan cara lain. “Untuk kami di Kadin, siap duduk bersama pemerintah membahas hal tersebut,” tandasnya.
Baca Juga: Tinjau Smelter Timah, Jokowi Mulai Kalkulasi Rencana Stop Ekspor Timah Mentah Dari sisi ahli pertambangan, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli menyampaikan sejauh ini langkah hilirisasi di bidang minerba dinilai cukup berhasil terutama di beberapa komoditas seperti nikel dan timah. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, diamanahkan bahwa hilirisasi merupakan kewajiban dan pemerintah telah melakukan pelarangan ekspor bahan mentah atau bijih mineral ke luar negeri dengan tujuan agar hilirisasi berjalan baik di Indonesia. Khusus di komoditas nikel sudah banyak berdiri smelter dan refinery untuk mengolah nikel menjadi produk seperti Nickel Matte, NPI, FENI dan juga MHP sebagai bahan baku beterai kenderaan listrik (EV). “Namun, karena belum dapat diserap di dalam negeri produk-produk tersebut masih banyak yang diekspor ke negara lain untuk diolah menjadi produk jadi (industri manufaktur),” jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (14/10). Adapun sejauh ini masih ada beberapa komoditas yang belum berkembang hilirisasinya seperti komoditas besi terutama pasir besi (iron sand). Mineral tersebut belum berkembang pengolahan dan pemurniannya di Indonesia. Iron sand umumnya digunakan untuk industri semen. Rizal menjelaskan, untuk iron ore sudah ada beberapa smelter yang dibangun dan beroperasi, namun perlu ditingkatkan jumlahnya agar dapat menyerap produknya di Indonesia. Untuk komoditas bauksit, Rizal memaparkan, saat ini baru ada dua refinery dan satu peleburan aluminium yang dibangun dan beroperasi di Indonesia. Beberapa sedang dalam pembangunan dan studi kelayakan. Saat ini bijih bauksit masih diekspor ke luar negeri. Sedangkan bahan baku aluminium yang diperlukan untuk industri pembentukan dan manufaktur domestik diimpor dari luar negeri. “Umumnya, penyerapan produk turunan mineral tersebut masih sangat rendah karena belum dibangunnya ekosistem industri yang dapat menyerap produk antara tersebut, masih jauh di bawah 50% serapan domestiknya. Hampir sebagian besar produk antara tersebut diekspor ke luar negeri,” terang Rizal. Dia memberikan gambaran, pada tahun 2020 produk Nickel Matte (40%-70% Ni) dan FeNi (16%-30% Ni) masing-masing sebesar 91,200 ton dan 2,8 juta ton semuanya diekspor. Sedangkan, Indonesia masih banyak mengimpor seperti stainless steel (slab, HRC, Rod/bar, pipe, tube dan wire). Khusus kebutuhan Cobalt hamper semuanya masih impor. Setelah pelarangan bijih nikel dijalankan pada 2020, Pemerintah Indonesia akan mendorong pelarangan bijih mineral timah dalam waktu dekat. Rizal berpesan, untuk pelarangan ekspor timah (tin ingot) perlu dilakukan kajian mendalam terlebih dahulu agar hasilnya maksimal. Perhapi saat ini sedang mengkaji hal tersebut untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah dalam hal kebijakan.
Baca Juga: Indonesia Percaya Diri Miliki Peluang Bagus Soal Gugatan Diskriminasi Sawit di WTO “Intinya memang pembangunan industri dalam negeri perlu dilakukan segera agar daya serap di dalam negeri dapat dilakukan secara maksimal. Demikian juga untuk tembaga dan bauksit,” tegasnya. Senada, Ketua Indonesia Mining & Energi Forum (IMEF), Singgih Widagdo menilai kebijakan larangan ekspor mineral bukan saja meletakkan pada sisi pertimbangan waktu, melainkan juga harus terintegrasi dari arah kebijakan pemberian jumlah izin eksplorasi. Hal ini harus paralel dengan tuntutan dan kebutuhan industri. Persetujuan produksi dan pertumbuhan smelter tentu terkait dengan konteks pasar domestik dan pasar ekspor. Adapun dengan terintegrasi dari hulu ke hilir, investasi di sisi eksplorasi (hulu) akan mempertemukan dengan investasi dan jumlah smelter atau volume mineral serta jenis mineral logam yang dibutuhkan oleh industri (hilir). “Dan kebijakan terintegrasi dari hulu dan hilir dipastikan tidak akan menimbulkan kondisi
oversupply. Pasalnya jika pasokannya berlebih dipastikan akan merugikan perusahaan tambang yang bergerak di sisi hulu,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (16/10). Namun, Singgih menyatakan, dengan kondisi yang telah terjadi di Indonesia, khususnya keterlambatan pembangunan sebagian smelter dan juga rencana Pemerintah yang akan tetap melakukan pelarangan ekspor, maka arah kebijakan harus terus mewaspadai ancaman perlambatan proses ekonomi berbasis nilai tambah. Menurut dia, penegakan denda administratif atas keterlambatan pembangunan smelter dapat saja dilakukan. Namun yang terpenting ialah pengawasan dan evaluasi atas
milestone yang telah dibuat dan ditetapkan Pemerintah saat ini. Sejatinya, Indonesia menyimpan sumber daya alam (SDA) mineral yang sangat berlimpah. Singgih memaparkan saat ini cadangan terbukti bijih (bukan logam) berbagai komoditas tambang seperti nikel tercatat sebanyak 1,499 miliar ton, tembaga 639,206 juta ton, bauksit 927,781 juta ton, timah 1,253 milyar ton.
Baca Juga: Vale Indonesia (INCO) Mengejar Target Produksi 65.000 Ton Nikel Matte Jika dibandingkan negara lain, tentu cadangan komoditas-komoditas ini menjadi kekuatan dan fokus Indonesia dalam mengelola SDA khususnya dengan kemajuan teknologi yang telah berkembang.
Dengan kemajuan teknologi yang saat ini sudah ada dan terbukanya ruang berbagai investasi (teknologi dan keuangan), arah yang harus dibangun Pemerintah bukan lagi sekadar ekspor bahan mentah, melainkan ekonomi berbasis nilai tambah, khususnya fokus pada hilirisasi. Bahkan, arah ke depan bukan hanya sampai batas setengah jadi, namun harus terus diupayakan sampai produksi jadi, seperti
stainless steel, battery pack dan sampai mobil/bus listrik. Menurutnya, dengan berbasis nilai tambah dan optimum pemanfaatan SDA mineral, maka arah kebijakan bukan lantas pada penguatan sisi hilirnya saja, namun harus sejak dari hulunya yang kadang hanya beberapa perusahaan besar yang mampu melakukan eksplorasi mineral (belum ada keberanian pihak bank untuk masuk). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .