Program Tapera Jadi Polemik, Begini Kata Pengamat



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) kian menuai kritik, pasalnya pemerintah mewajibkan pekerja swasta membayar iuran dari gaji atau upah mereka untuk Tapera. 

Besaran simpanan peserta untuk peserta pekerja ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5% dan pekerja sebesar 2,5%. Untuk pekerja mandiri, dana kelolaan akan diatur langsung oleh Badan Pengelola (BP) Tapera.

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai tujuan pemerintah belum jelas jika ingin mengatasi masalah backlog rumah. 


Ia justru melihat di balik kebijakan ini, ada maksud sebenarnya pemerintah ingin berinvestasi. 

Baca Juga: Kelola Dana Masyarakat, Pengamat Desak BP Tapera Transparan Soal Neraca Keuangan

Pasalnya, salah satu beleid Tapera adalah dana yang dikumpulkan dari peserta akan dikelola ke dalam beberapa portofolio investasi, yaitu ke korporasi 47%, SBN sebanyak 45% dan sisanya deposito.

Maka, menurut Nailul dengan komposisi SBN sebanyak 45% ini tentu akan memudahkan pemerintah untuk menerbitkan SBN karena bisa dibeli oleh badan pemerintah, termasuk BP Tapera melalui uang masyarakat. 

"Pemerintah ingin menaikkan bunga SBN, tentu jadi beban hutang. Ketika swasta enggan investasi di SBN, badan pemerintah jadi solusinya. Salah satu pejabat BP Tapera adalah Menkeu yang punya kepentingan untuk penyerapan SBN," kata Nailul kepada KONTAN, Rabu (29/5). 

Di sisi lain dengan diberlakukannya kebijakan ini juga berdampak kepada ekonomi. Secara konsumsi masyarakat akan ada yang hilang karena karena ada bagian pendapatan yang disetorkan ke negara lewat Tapera sehingga mengurangi konsumsi masyarakat. 

"Pada akhirnya konsumsi akan tertekan dan berpengaruh ke PDB. Pertumbuhan ekonomi akan terbatas. Jadi ada efek kontradiktif dari kebijakan Tapera ini terhadap ekonomi kita," lanjut Nailul.

Baca Juga: REI: Tapera Dapat Menjadi Booster Masyarakat Membeli Rumah

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita juga menilai kebijakan Tapera ini harus dikaji ulang. Apalagi ia menyoroti kata tabungan dalam Tapera seharusnya bersifat opsional alias tidak wajib. 

"Harus dibahas dan dikaji secara mendalam. Tidak bisa tanggung rente untuk urusan perumahan, karena tidak semua karyawan dan pekerja yang membutuhkan perumahan," tandas Ronny. 

Selain itu beleid Tapera yang menempatkan dana paling banyak di SBN adalah instrumen investasi yang nyaris minim risiko. Menurut Ronny hal ini berdampak ke ekonomi melalui intermediasi belanja pemerintah. Karena masuk ke kantong pemerintah melalui instrumen surat utang dan sejenisnya, kemudian pemerintah akan membelanjakannya. 

Ia menilai dampak jangka pendek ke negara jika dibelanjakan ke SBN maka negara mendapat uangnya untuk jangka pendek. Sementara dalam jangka panjang, hal ini akan menambah utang negara dan menambah beban APBN.

Dibanding untuk perumahan, Ronny melihat adanya kemungkinan kondisi keuangan Tapera memburuk sehingga butuh sumber keuangan dari pekerja swasta untuk menambalnya. Pasalnya secara historis, ia melihat dana kelolaan milik pemerintah seringkali bermasalah. 

Baca Juga: Ricuh Soal Tapera, Airlangga Minta Kemenkeu dan Kementerian PUPR Lakukan Sosialisasi

"Sebenarnya bukan saja apakah akan dipakai untuk SBN. Atau memang kondisi keuangan Tapera yang sedang bermasalah, sehingga membutuhkan sumber keuangan baru dari pekerja swasta. Dana-dan pensiunan BUMN bahkan kata Pak Erick banyak yang bermasalah," ujar Ronny. 

Pasalnya jika ditelisik lagi, sudah banyak dana kelolaan yang masuk dalam instrumen investasi SBN. Misalnya BPJS Ketenagakerjaan yang menempatkan dana di SBN sebesar 70% dari total instrumen investasi.

Selain itu berdasarkan laporan keuangan Jasa Raharja menempatkan Rp 2,52 triliun di SBN,atau setara 17,8% dari jumlah investasi perusahaan sebesar Rp 14,1 triliun pada April 2024.

Kemudian Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan BPJS Kesehatan menempatkan sebanyak Rp 33 triliun di SBN. 

"Penempatan Investasi di SBN tahun 2023 sebesar Rp 33 triliun," ucap Ghufron kepada KONTAN. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi