JAKARTA. Pengusaha properti dan pemilik lahan menganggur (
idle) bisa sedikit lega. Setidaknya dalam waktu dekat, mereka tidak akan terbebani tambahan pajak. Pasalnya, pemerintah memutuskan menunda penerapan pajak progresif atas properti dan tanah menganggur. Alasan pemerintah, industri properti belum siap. Kondisi perekonomian yang belum pulih masih menekan kinerja perusahaan properti hingga awal tahun ini. Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil mengatakan, kajian pajak progresif atas tanah menganggur dan terlantar sejatinya tak menemui kendala. Hanya, pemerintah harus mempertimbangkan rencana kebijakan ini dengan kondisi ekonomi dan industri properti. "Jadi ini masalah
timing saja," kata Sofyan di Kantor Kemenko Perekonomian, Selasa (2/5).
Penundaan juga berlaku atas rencana pajak progresif di sektor properti, yakni terhadap apartemen yang tidak disewakan atau dihuni, serta apartemen yang tidak laku dijual. Sofyan menyebut, pengenaan pajak progresif untuk apartemen yang tidak disewakan/belum laku, belum menjadi fokus pemerintah. "Untuk penerapannya kami tunda," ucapnya. Menurutnya, penundaan wacana pengenaan pajak di sektor properti karena perekonomian Indonesia masih stagnan. Kondisi tersebut berimbas pada penjualan properti yang lambat. Nah, kata Sofyan, jika ekonomi sudah membaik dan pasar properti kembali menggeliat, pengenaan pajak apartemen tak terjual akan dilaksanakan. "Kebijakan ekonomi ini akan dirilis jika terjadi
over heating ekonomi, jika nanti terjadi kenaikan harga apartemen luar biasa, kebijakan pajak itu adalah sebuah keniscayaan. Jadi kebijakan itu tergantung situasi," jelasnya. Sebelumnya, Menteri Koordinator Ekonomi Darmin Nasution sudah memberikan sinyal penundaan kebijakan ini. Darmin menyebut, penerapan kebijakan pajak progresif belum menjadi kebijakan prioritas. Darmin bilang, pajak progresif tanah dan properti tidak akan berlaku dalam waktu dekat. Sebab, jangka pendek, pemerintah akan lebih dulu merealisasikan program reforma agraria. "Tidak dibilang batal. Tapi belum menjadi prioritas," ujarnya, Senin (10/4). Seperti diketahui, demi mengurangi ketimpangan penguasaan lahan, meningkatkan produktivitas tanah serta mengurangi spekulasi pembelian lahan, Kementerian ATR/BPN telah mengusulkan tiga pajak di sektor pertanahan dalam program ekonomi berkeadilan.
Pertama, pengenaan pajak progresif kepemilikan lahan ke-2 dan seterusnya atau setiap tambahan lahan hingga batas tertentu.
Kedua, pajak aset menganggur atau
unutilized asset tax. Semula, Kementerian ATR mengusulkan, pajak progresif dikenakan pada lahan yang tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan,
vacant apartemen yang tidak disewakan/dihuni, serta apartemen yang tidak laku terjual.
Ketiga, pengenaan
capital gain tax, yakni pajak selisih harga beli dengan harga jual. Ini artinya,
capital gain yang didapat dalam penjualan properti akan kena pajak. Ketidakpastian bagi industri Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio menduga, pemerintah dengan sengaja menunda kebijakan ini karena ketidaksiapan dan banyaknya investasi properti di kalangan pejabat pemerintah. Agus menyebut, wacana kebijakan pajak progresif bagi apartemen kosong dan lahan terlantar bisa batal jika ditunda terlalu lama. "Bulan lalu sudah ditunda, sekarang juga ditunda lagi, lama-lama batal. Karena tidak jelas batasan waktu penundaannya," katanya, Rabu (3/5). Bagi pengembang, penundaan ini menimbulkan ketidakpastian. Sekretaris Perusahaan PT Intiland Development Tbk, Theresia Rustandi mengatakan, kebijakan seperti ini seharusnya dikaji lebih matang dan mendalam. "Jangan menimbulkan ketidakpastian dengan mengeluarkan rencana yang belum matang ke media. Sebaiknya, pemerintah berdiskusi dulu dengan para pelaku usaha. Kalau sudah matang dan pasti, baru diumumkan ke media," katanya, Rabu (3/5). Pasalnya, wacana kebijakan yang belum matang tersebut mempengaruhi iklim investasi bidang properti. "Pemaparan wacana belum matang seperti ini ikut mengguncang bisnis kami dan bisa melemahkan saham emiten properti," imbuh Theresia. Jika pemerintah berdiskusi dengan pelaku usaha, Theresia memastikan pihaknya akan ikut memfasilitasi apabila rencana tersebut bisa dijelaskan secara spesifik. Dengan demikian, kebijakan atau aturan yang dibuat tidak merugikan para pelaku usaha. Menurut Theresia, wacana aturan pajak progresif untuk apartemen kosong juga belum jelas landasannya. Karena tidak ada apartemen yang dengan sengaja dibiarkan kosong oleh pengembangnya. Ia menilai, aturan tersebut dapat melemahkan pertumbuhan bisnis properti. "Kebanyakan, orang membeli apartemen untuk tujuan investasi. Bisa saja tidak dihuni karena disiapkan untuk anaknya atau hanya dihuni saat akhir pekan. Tujuan investasi orang tidak bisa disamakan," kata Theresia. Oleh karena itu, ia menilai, jika pajak progresif ini berlaku, ditaksir akan banyak orang enggan berinvestasi di apartemen. Kondisi semacam ini dikhawatirkan menghambat perkembangan bisnis properti. Timing tidak tepat Ketua Umum Kadin Rosan P Roeslani menyebut, pihaknya sempat memberi masukan kepada pemerintah terkait wacana penerapan pajak progresif, terutama atas apartemen belum terjual dan tidak ditempati. "Kami memberi masukan bahwa properti masih tahap
recovery, kami memohon penundaan. Kami juga meminta pemerintah untuk memberikan stimulus pada saat seperti ini," tuturnya. Itu sebabnya, ia merespons positif penundaan penerapan pajak progresif untuk apartemen. Menurutnya, keputusan itu akan sangat berdampak pada pertumbuhan bisnis properti di Indonesia. Hingga kuartal I 2017, industri properti masih dalam tekanan. Ini tercermin pada kinerja sejumlah perusahaan properti. Tak sedikit yang mencatatkan laba lebih kecil dibandingkan tahun lalu. Tengok, PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) yang membukukan laba bersih Rp 142,66 miliar pada triwulan I 2017. Pencapaian itu lebih rendah 54,17% dibanding periode yang sama tahun 2016 sebesar Rp 311,28 miliar. Senada, keuntungan PT Pakuwon Tbk (PWON) selama tiga bulan pertama di tahun ini tergerus 35,91%
year on year (yoy) menjadi Rp 348 miliar. Bahkan, PT Intiland Development Tbk (DILD) mencatatkan penurunan laba signifikan sebesar 80,5% yoy menjadi Rp 19,7 miliar. Pelambatan ini meneruskan tren buruk di industri properti yang terjadi sejak 2015. Kondisi ini juga sejalan dengan catatan Bank Indonesia. BI mencatat penyaluran kredit pada apartemen tipe menengah dan besar pada kuartal IV terkontraksi masing-masing sebesar -0,5% (yoy) dan -3,33% (yoy). Tak ayal, harga jual ikut terimbas. Secara tahunan, survei BI menyebut, kenaikan harga properti residensial melambat. Pertumbuhan harga properti residensial hanya 2,38% (yoy), melambat dibandingkan kuartal I 2016 yang naik 2,75% (yoy). Analis Binaartha Parama Sekuritas Reza Priyambada berpendapat, kebijakan pajak tinggi atas properti menganggur terbilang dilematis. Sejatinya, pengembang harus mengamankan lahan demi kelangsungan kinerja. Di sisi lain, proyek properti tak bisa langsung jadi begitu ada permintaan. Oleh karena itu, banyak lahan menganggur. "Developer tidak jor-joran membangun sehingga banyak lahan nganggur," paparnya. Menurut Reza, seharusnya pemerintah membantu meningkatkan permintaan properti terlebih dulu, baru mengutip pajak tinggi. Sebab, jika permintaan properti tinggi, maka harga jual ikut naik. “Jika terkena pajak tinggi, hal itu masih wajar. Namun, jika pajak tinggi saat permintaan properti melemah, itu akan menekan emiten properti,” ungkapnya. Perlu kaji ulang Pemerintah nampaknya mengulur waktu, lantaran kebijakan pajak progresif ini bersifat kompleks. Jika tidak hati-hati, industri properti bisa terguncang. Efeknya bakal menjalar ke industri lain, termasuk perbankan. Dus, bisa mengancam pertumbuhan ekonomi nasional. Baru-baru ini, Darmin mengakui, pemerintah perlu mengkaji lebih rinci mekanisme pengutipan pajak. Sebab, katanya, pengenaan pajak terhadap aset yang menganggur sifatnya lebih complicated. “Sehingga perlu dikaji lebih matang,” ungkapnya. Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Arteria Dahlan menganggap penundaan rencana kebijakan pajak progresif bagi apartemen kosong dan tanah terlantar, sebagai hal yang wajar. "Menurut saya tidak masalah, karena pemerintah memang butuh pertimbangan yang lebih matang soal ini," katanya, Rabu (3/5). Untuk itu, dalam waktu dekat, pihaknya akan melakukan rapat koordinasi dengan Kementerian ATR/BPN untuk mencari solusi yang lebih tepat. Sejatinya, Arteria menilai, pengenaan pajak progresif kurang tepat bagi para pelaku usaha. Pasalnya, aturan tersebut berpotensi melemahkan bisnis properti. "Banyak hal yang harus kita jaga, salah satunya keberlangsungan dunia usaha," ungkapnya. Meski begitu, Arteria mengakui, Komisi II DPR belum memiliki rencana strategis khusus untuk menangani masalah penggunaan lahan dan bangunan yang tidak efektif. "Kemungkinan, kami akan menyiapkan beberapa opsi lain di luar pajak progresif sebagai solusi," katanya. Agus Pambudi menegaskan, aturan pajak progresif perlu segera diterapkan. Jika tidak, dampaknya jelas ketimpangan sosial akan semakin luas dan tata ruang makin tidak karuan. Namun, lanjut Agus, penerapan pajak progresif harus dengan skema yang lebih ramah bagi para pelaku usaha. "Saran saya, berlakunya pajak progresif ini harus bertahan. Tidak langsung besar di depan. Pelan-pelan dulu, mulai dari nominal kecil, lalu naik tiap tahun," ungkapnya. Skema pengenaan pajak progresif secara bertahap dilakukan untuk mengantisipasi anjloknya investasi di bidang properti. "Kalau nominalnya langsung besar, kebanyakan pelaku bisnis properti tidak siap dan berpotensi melemahkan bisnisnya," imbuh Agus. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, kebijakan pajak ini masih perlu pembahasan lebih lanjut. Ia menilai, kebijakan pajak pertanahan dan properti ini salah, apabila nantinya pajak dibebankan kepada konsumen. Sebab, hal tersebut kontraproduktif dengan kebijakan pelonggaran kredit untuk mendorong pertumbuhan. “Jangan dihantam di sisi
demand. Perlu lebih holistik. Disesuaikan dan diselaraskan dengan kebijakan lain,” katanya, Jumat (7/4). Prastowo berpendapat, jika pemerintah ingin menghindari adanya spekulan, opsi yang dapat dipertimbangkan adalan pemberian batasan. Misalnya, yang menjual sebelum lima tahun dikenai pajak lebih tinggi. “Jadi yang didorong developer-nya, bukan konsumen dipenalti,” paparnya.
Ia melanjutkan, untuk kebijakan meminimalisir spekulan, pemerintah bisa mempertimbangkan opsi mengenakan
hoarding land tax kepada investor atau pengembang. Dalam skema
hoarding land tax, ada jangka waktu selama dua tahun untuk menjual apartemen atau dikenai pajak. “Singapura sudah berhasil
hoarding land tax, sasaran ke developer bukan konsumen atau individu. Itu hampir sama dengan ide pajak tanah atas
underutilized land,” ucap Prastowo. Tentu, publik menunggu kejelasan penerapan dan mekanisme pajak progresif ini. Diharapkan, kebijakan pajak ini nantinya bisa membantu pemerintah untuk mewujudkan program ekonomi berkeadilan. Namun, di sisi lain, tidak melemahkan industri properti di Tanah Air. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini