Prosedur sah, KPK yakin menang praperadilan BLBI



JAKARTA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) optimistis bakal menang dalam sidang praperadilan yang dimohonkan Syafruddin Arsyad Temenggung lantaran dijadikan tersangka kasus penyelewengan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Terlebih menurut KPK, putusan ini memiliki peran cukup strategis dalam pengungkapan korupsi berskala besar. "Kita berharap putusan praperadilan yang akan dibacakan hakim besok bisa berkontribusi positif terhadap pengungkapan kasus BLBI yang selama ini masih menjadi tuntutan yang tinggi dari publik agar kasus BLBI ini ditangani," kata Febri Diansyah, juru bicara KPK, Selasa (1/8). Sementara itu KPK merasa yakin lantaran semua proses sejak dari penyelidikan hingga berstatus penyidikan sudah dijalankan sesuai hukum yang berlaku. "Kalau dilihat dari aspek dan materi yang kami sampaikan, kami yakin sekali akan dimenangkan dalam praperadilan itu. Sebab, argumentasi yang disampaikan termohon sudah kami jawab, terkait apakah ini ada dalam perdata atau ranah pidana," tambah Febri. Sekedar tahu, Syafruddin merasa tidak terima dengan penetapan tersangka karena beberapa hal. Diantaranya, ia merasa hanya melaksanakan tugas. Selain itu, kasus BLBI ini pernah ditangani Kejaksaan Agung namun dinyatakan berhenti lewat terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan. Selain itu, kasus ini dianggapnya telah daluarsa. Bukti dan pendapat ahli pun diajukan oleh pihak KPK di persidangan yang dipimpin oleh hakim Effendi Mukhtar ini. Ada lima hal yang menjadi kesimpulan KPK. Pertama, KPK berpendapat kesaksian yang diajukan Syafruddin tak bisa menguatkan dalil mereka. Justru ada kesaksian yang menunjukkan bahwa penerbitan penghapusan piutang oleh BPPN patut diusut karena tanpa persetujuan DPR RI. Kedua, KPK menegaskan penetapan tersangka atas pemohon Syafruddin telah sesuai dengan prosedur. Karena telah memiliki bukti permulaan yang cukup yang dilakukan penyelidik dan penyidik secara sah menururut KUHP, UU tentang KPK dan UU tentang Pemberantasan Tipikor. Ketiga, KPK menegaskan surat keterangan lunas yang diterbitkan untuk obligor Sjamsul Nursalim merupakan ranah hukum publik. Hal itu untuk membantah dalil permohonan pemohon yang menyatakan ranah perkara BLBI merupakan ranah perdata. Keempat, berdasarkan keterangan saksi ahli, KPK menegaskan bahwa perkara ini bisa ditangani dan tindak pidana a quo belum kedaluwarsa. "Perkara yang disangka dengan UU Tipikor yang ancaman hukumannya dengan pidana mati atau pidana seumur hidup maka kedaluwarsanya berdasarkan Pasal 78 ayat 1 KUHP selama 18 tahun , maka untuk tempus tahun 2004 kedaluwarsanya pada 2022," bunyi dalil kesimpulan yang disampaikan KPK.  Terakhir, penerbitan SP3 oleh Kejagung tidak berimbas pada perkara ini lantaran materi yang diperiksa berbeda. Hal itu sesuai dengan keterangan saksi Mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie yang menyatakan objek pemeriksaan di Kejagung dan di KPK saat ini berbeda.  Di Kejagung, kasus yang diperiksa terkait penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar kurang-lebih Rp 144 triliun. Sementara objek penyidikan KPK adalah pemberian surat pemenuhan kewajiban pemegang saham/surat keterangan lunas untuk Sjamsul Nursalim kepada pemohon terkait penghapusan piutang petani petambak sebesar Rp 4,8 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Dessy Rosalina