Prospek bisnis asuransi budidaya udang belum jelas



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) hari ini, Senin (11/12) telah menyepakati perjanjian kerjasama Asuransi Usaha Budidaya Udang (AUBU).

AUBU sendiri merupakan rangkaian program pemerintah, khususnya KKP yang berfokus memberikan perlindungan terhadap pebisnis budidaya udang tradisional, dengan mengikuti program asuransi dengan premi yang sepenuhnya dibayar oleh pemerintah. Sejauh ini, pemerintah telah menyiapkan dana sebesar Rp 1,5 miliar untuk subsidi premi, khusus bagi pebisnis budidaya udang tradisional. Menurut Direktur Jenderal PT. Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) Sahata Tobing, premi sebesar Rp 1,5 miliar dinilai tidak memberikan kontribusi signifikan bagi industri.

Namun, Sahata menilai hal ini merupakan langkah awal yang baik. "Kalau tidak pernah dimulai kan enggak pernah signifikan," ujarnya saat ditemui Kontan.co.id, pada Senin (11/12). Sahata menjelaskan, agar program ini berjalan baik, maka sebaiknya pilot project tidak dilakukan langsung menyebar ke seluruh pelosok Indonesia. Sebab, sudah bisa dipastikan, pebisnis budidaya udang akan berlokasi di sekitar garis pantai yang umumnya memiliki akses yang minim. "Kalau ada di lokasi terpencil, jadi asuransi harus siapkan perangkat, kontrol, terus naiknya juga butuh waktu. Ini mendingan kita sama-sama lihat modelnya. Tapi jangan disebarkan langsung di semua lokasi," jelas Sahata. Sementara itu, pihak KKP menilai tren dunia untuk perikanan budidaya sedang naik. Direktur Jenderal Budidaya KKP, Slamet Subiakto mengatakan, udang yang kini dibudidayakan di Indonesia memiliki kualitas yang baik dan jauh dari wabah penyakit. Jenis udang itu disebut udang vannamei, yang memiliki karakter berbeda dibanding udang windu. "Udang vannamei bisa berenang di kolam air, beda dengan windu yang hanya di dasar. Dengan teknologi sederhana itu satu hektar bisa 200 kg tanpa dikasih makan. Nah ini sasaran awal kita," jelasnya. Slamet menjelaskan, jika menggunakan teknologi yang semi canggih, produksi udang vannamei bisa berkembang hingga 4-5 ton per hektar. "Naik ke tekonologi yang lebih canggih lagi, bisa jauh lebih banyak lagi," ungkapnya. Untuk komoditas ekspor sendiri, menurut Slamet, kebutuhan dunia terhadap udang masih membutuhkan sekitar 400 ton lagi. Sampai saat ini, Indonesia merupakan salah satu eksportir terbesar udang vannamei. Adapun lahan budidaya udang yang dimanfaatkan baru sebesar 20% dari total lahan yang bisa dimanfaatkan. Jika hal ini bisa dimaksimalkan, menurut Slamet, perlindungan bagi pembudidaya dari segi asuransi, bisa beralih ke pembudidaya lainnya seperti ikan dan rumput laut. Sementara itu terkait resiko, Asuransi Usaha Budidaya Udang (AUBU) akan memberikan perlindungan dari wabah penyakit dan bencana. Per hektarnya, biaya klaim adalah sebesar Rp 15 juta. Sementara untuk premi, per hektarnya dikenakan biaya Rp 450 ribu. Ketua Umum AAUI, Dadang Sukresna berharap, ke depannya AUBU bisa dilaksanakan secara nasional sehingga setiap pembudidaya udang akan melek asuransi. Akan tetapi, untuk sementara, Ia belum bisa memastikan potensi asuransi di sektor tersebut. "Potensinya belum tahu," katanya. Pertanggungan AUBU dilakukan secara Ko-Asuransi, dengan PT. Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) sebagai leadernya. Selain Jasindo, member Ko-Asuransi lainnya adalah PT. Asuransi Bhakti Bhayangkara, PT Asuransi Bringin Sejahtera Artamakmur, PT. Asuransi Asei Indonesia, PT. Asuransi Binagriya Upakara, PT. Asuransi Central Asia, PT. Sompo Insurance Indonesia, dan PT. Asuransi Jasa Tania.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dessy Rosalina