Memasuki tahun baru, dunia usaha memasang kuda-kuda dan bersiap menghadapi dinamika bisnis selama setahun ke depan dengan penuh optimisme. Bisnis pelayaran pastinya tidak luput dari ritual ini. Hanya saja, optimisme sektor pelayaran tidak semarak sektor lainnya karena selama 2017 kondisinya tidak baik-baik amat. Usaha yang satu ini boleh disebut masih bleeding sepanjang tahun lalu meski ada sedikit perbaikan freight, khususnya pelayaran peti kemas. Sayang, menurut analis pelayaran kelas dunia, Martin Stopford, dalam wawancara dengan sebuah media pelayaran regional tahun lalu, perbaikan freight itu hanyalah sementara dan tidak substansial sifatnya. Terbukti, setelah Hanjin bangkrut tahun 2016, sejumlah pelayaran peti kemas besar lainnya melakukan berbagai cara hanya untuk bertahan hidup. Tiga pemain pelayaran "Liga Jepang", yaitu Mitsui OSK Lines (MOL), Nippon Yusen Kabushiki Kaisha (NYK) dan Kawasaki Kisen Kaisha (K Line) telah membentuk joint venture yang diberi nama Ocean Network Express atau ONE. Lalu, pelayaran dari negeri Tirai Bambu, China Shipping Container Lines (CSCL) dan China Ocean Shipping Company (COSCO) sudah digabung oleh negara tersebut menjadi satu entitas demi efisiensi. Induk perusahaan ini (COSCO) kemudian mengambil alih (take over) pelayaran peti kemas asal Hong Kong, Orient Overseas Container Lines (OOCL) seharga US$ 6,3 miliar.
Lagi-lagi, saham perusahaan pelayaran milik mantan Kepala Hong Kong SAR, Tung Chee-hwa, ini dilego ke COSCO agar bisa menghentikan kerugian. Menariknya, COSCO sendiri sebetulnya juga merugi. Dengan alasan yang sama, terjadi pula merger antara perusahaan peti kemas Jerman, Hapag Lloyd, dan United Arab Shipping Company (UASC) yang bermarkas di Kuwait pada 2017. Last but not least, kelamnya bisnis pelayaran peti kemas ditutup dengan bangkrutnya pelayaran STX. Perusahaan Korea Selatan itu terjebak utang dan tidak bisa membayarnya. Kreditur terpaksa melego. Yang berpeluang besar "membungkus" STX adalah private equity asal negeri Tirai Bambu, AFC. Keterlibatan private equity dalam proses tersebut menunjukkan para pelaku di bidang ini makin banyak melirik bisnis pelayaran. Di sisi lain, perbankan mulai enggan mengucurkan kredit untuk pelayaran menyusul iklim bisnis yang makin tidak kondusif. Lantas, apa yang membuat bisnis pelayaran peti kemas-sebuah bisnis yang ditaksir Wall Street Journal bernilai US$ 1 triliun per tahun -berdarah-berdarah? Jawabannya adalah kebijakan konsolidasi yang dilakukan operator pelayaran peti kemas. Kebijakan ini pada akhirnya mematikan diri mereka sendiri. Melalui konsolidasi di antara mereka pengoperasian kapal (rata-rata berkapasitas lebih dari 18.000 TEU) memang bisa lebih efisien dan menguntungkan. Sebelum konsolidasi, tak jarang di antara mereka berkompetisi sengit. Tapi di sisi lain, kebijakan itu justru kontraproduktif. Merger bisnis pelayaran peti kemas membuat pasar menjadi oligopolistik yang cenderung tak memberi ruang terhadap kompetisi. Selain itu, jumlah kapal berlebihan. Di sudut operasional armada, terjadi penataan rute besar-besaran yang berujung penurunan frekuensi pelayaran ke pelabuhan/terminal tujuan. Lantaran kapal yang dioperasikan semakin bongsor, terjadi pula stres di kalangan pengelola pelabuhan/terminal terkait bagaimana melayani bongkar-muat mereka. Mereka terpaksa investasi alat bongkar muat baru dan menaikkan service charge terminal. Dry bulk dan bulk Pertanyaanya sekarang adalah pada 2018 ini, bisnis pelayaran yang manakah yang cukup prospektif digeluti? Yang jelas, pelayaran peti kemas diproyeksi masih akan suram; bukan hanya selama tahun ini tetapi juga beberapa tahun ke depan selama inti persoalannya tidak dibenahi dengan serius. Begitu pula dengan pelayaran tanker. Sub-sektor yang satu ini masih digelendoti masalah harga minyak dunia yang terus fluktuatif. Bagian sub-sektor ini, yaitu pelayaran offshore, sudah duluan mati suri seiring dengan pelambatan operasi rig lepas pantai. Pelayaran yang cukup prospektif pada 2018 akhirnya tersisa pengangkutan komoditas curah kering (dry bulk) dan bulk. Ini merujuk kepada barang yang tidak dikemas atau unpacked seperti batubara, semen dan sebagainya. Yang juga masuk kategori ini adalah curah cair (liquid bulk). Kebutuhan akan bahan mentah atau natural resources yang relatif stabil dari masa ke masa membuat usaha pelayaran yang satu ini tetap menarik digeluti. Tentu saja ada dinamika dalam bisnis pelayaran dry bulk, bulk dan liquid, tetapi hal ini lebih kepada lokasi/keberadaan pelabuhan muat. Maksudnya begini. Jika raw material atau natural resources yang sedang menjadi tren dunia ada di sebuah negara, operator pelayaran, melalui agen dan trader komoditas, akan fokus ke sana. Begitu aktifnya mereka sehingga mau mengoperasikan kapal besar dan kongesti di pelabuhan karena aktivitas bongkar-muat yang padat tak terhindarkan. Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 82/2017 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu berpeluang menjadikan Indonesia sebagai sasaran empuk operator kapal bulk, dry bulk dan liquid bulk. Pasalnya, pengangkutan crude palm oil (CPO), batubara dan beras yang menjadi objek dari aturan tersebut pasti memerlukan carrier yang tidak sedikit. Peluang ini tentunya rugi sekali kalau dilewatkan begitu saja. Lo, bukannya di Indonesia banyak kapal pengangkut muatan curah? Dalam kalimat lain, jika ekspor minyak sawit, beras dan komoditas lainnya dilakukan, tentu yang mengangkut kapal berbendera Indonesia.
Namun, tidak ada larangan kapal berbendera asing "mencari rezeki" di Indonesia kan? Bisnis pelayaran adalah sebuah ladang usaha yang melintasi sekat-sekat geografis. Ingat, ship follows the trade. Di samping itu, pola pengoperasian kapal-kapal curah yang bersifat tramper alias tidak berjadwal tetap - lawannya adalah sistem liner (berjadwal tetap) yang kebanyakan diterapkan dalam pelayaran peti kemas, amat memungkinkan masuknya kapal berbendera asing dalam pengangkutan muatan curah di Indonesia melalui skema time charter, long-time charter dan lainnya. Pada derajat tertentu, skema ini juga mempengaruhi "rasa" kepemilikan kapal yang dioperasikan. Jangan lupa, pemakaian kapal ekspor juga ditentukan oleh term perdagangan; apakah FOB atau CIF. Jadi, selamat bersaing. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi