KONTAN.CO.ID-JAKARTA Tahun 2026 tampaknya belum akan menjadi titik balik besar bagi perekonomian Indonesia. Setelah melewati fase pemulihan yang cenderung datar pada 2025, ekonomi nasional diproyeksikan tetap tumbuh, namun dengan kecepatan yang masih terbatas. Sejumlah ekonom melihat, alih-alih melaju kencang, ekonomi Indonesia pada 2026 lebih mencerminkan upaya menjaga keseimbangan di tengah tekanan global yang belum sepenuhnya mereda dan daya dorong domestik yang belum pulih optimal.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai, prospek ekonomi tahun depan relatif tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini.
Baca Juga: Ekonomi Indonesia 2026 Diproyeksi Membaik, Meski Lebih Rendah dari Target Pemerintah Dalam proyeksinya, pertumbuhan ekonomi 2026 diperkirakan berada di kisaran 4,9–5,1%, sebuah angka yang menunjukkan ketahanan, tetapi belum menggambarkan akselerasi. "Artinya ekonomi memang masih tumbuh dan cukup resilien, tetapi mesinnya tertahan sehingga belum mampu melompat lebih tinggi," kata Yusuf kepada Kontan.co.id, Sabtu (27/12/2025). Bagi Yusuf, persoalan utama terletak pada lemahnya mesin pertumbuhan. Perlambatan ekonomi global, penerapan penuh tarif resiprokal Amerika Serikat, serta koreksi harga komoditas energi membuat kontribusi ekspor dan investasi tidak lagi sekuat beberapa tahun lalu. Di saat yang sama, kondisi domestik belum mampu sepenuhnya mengambil alih peran tersebut. Pemulihan daya beli masyarakat, menurutnya, masih berjalan tertatih. Indikator konsumsi belum menunjukkan penguatan berarti, seiring kontraksi upah riil di sejumlah sektor utama seperti manufaktur, perdagangan, dan konstruksi. Ruang fiskal pemerintah yang diperkirakan lebih sempit pada 2026 juga membuat dukungan terhadap konsumsi rumah tangga tidak sekuat tahun sebelumnya. "Ruang stimulus pemerintah pada 2026 diperkirakan lebih sempit dibanding 2025, sehingga bantalan konsumsi rumah tangga tidak sekuat tahun ini," katanya.
Baca Juga: Proyeksi Ekonomi 2026: Konsumsi dan Sektor SDA Kuat, Manufaktur Padat Karya Menantang Stimulus yang sangat dirasakan kelas menengah, seperti diskon tarif listrik, pun belum memiliki kepastian untuk dilanjutkan. Dalam situasi ini, konsumsi rumah tangga tetap menjadi penyangga utama pertumbuhan, tetapi belum cukup kuat untuk mendorong ekonomi ke fase pemulihan agresif. Investasi pun cenderung bersikap menunggu, mengikuti arah kebijakan dan perkembangan global. "Dengan daya beli yang belum pulih dan investasi yang cenderung
wait and see, pertumbuhan 2026 lebih mencerminkan ketahanan ekonomi, bukan pemulihan yang agresif," katanya. Menurutnya, tanpa dorongan kebijakan yang lebih terkoordinasi, terutama untuk memperbaiki upah riil, memperluas lapangan kerja formal, dan menghidupkan investasi sektor riil, ekonomi 2026 berpotensi bergerak di jalur yang aman, namun datar. Pandangan yang lebih optimistis datang dari Myrdal Gunarto, Global Markets Economist Maybank Indonesia. Ia melihat 2026 sebagai tahun yang menawarkan peluang perbaikan, terutama dari sisi domestik. Menurutnya, sentimen ekonomi dalam negeri masih cukup terjaga, sementara peran fiskal pemerintah melalui program prioritas pembangunan diperkirakan akan semakin terasa. "Jadi program-program prioritas pembangunan pemerintah diharapkan bisa lebih jalan pada tahun depan. Iklim suku bunga juga masih turun terus ya, walaupun penurunannya terbatas untuk tahun depan," katanya. Ia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 mencapai 5,22%, lebih tinggi dibandingkan estimasi 2025 sebesar 5,07%. Salah satu pendorong utamanya adalah efek lanjutan dari penurunan suku bunga yang berlangsung pada 2025. Dampak kebijakan moneter tersebut, yang tidak langsung terasa, diperkirakan baru akan memberikan dorongan nyata pada aktivitas ekonomi tahun depan. Dari sisi global, Myrdal menilai tantangan masih ada, terutama pada kinerja ekspor komoditas yang peningkatan volume dan nilainya terbatas. Namun, neraca perdagangan dinilai tetap relatif terjaga, ditopang impor BBM yang terkendali serta harga minyak global yang rendah. Di tengah kondisi tersebut, investasi diharapkan menunjukkan perbaikan setelah kinerjanya dinilai kurang optimal pada tahun ini. Di tengah perbedaan pandangan tersebut, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan ambisinya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ke level yang lebih tinggi pada 2026.
Baca Juga: UMP 2026 Ditolak, Ribuan Buruh Ancam Turun ke Jalan 29-30 Desember 2025 Direktur Strategi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF), Wahyu Utomo menilai keberhasilan soft landing pada 2025 akan menjadi fondasi penting bagi akselerasi ekonomi tahun 2026. "Kalau tahun 2025 ini bisa
soft landing, ini akan menjadi fondasi yang kokoh untuk menyongsong 2026," kata Wahyu dalam acara Indonesia Economic and Insurance Outlook 2026, Senin (22/12/2025). Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 2026 sebesar 5,4%, dengan ruang untuk ditingkatkan bahkan mendekati 6%, apabila seluruh mesin pertumbuhan dapat diaktifkan secara selaras. Sinergi kebijakan fiskal, moneter, sektor keuangan, iklim investasi, dan sektor riil menjadi kunci untuk mempercepat perputaran ekonomi.
"Tentu APBN harus diletakkan sebagai katalis untuk memberdayakan peran swasta. APBN harus diletakkan sebagai trigger untuk mencapai skala ekonomi agar market mekanisme dapat berputar," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News