KONTAN.CO.ID - Harga nikel di pasar internasional terus menguat. Di awal September ini, harga nikel kontrak tiga bulan di London Metal Exchange (LME) sempat menyentuh US$ 12.250 per ton. Ini adalah level tertinggi harga nikel sejak Juni 2015. Hal ini membuat harga saham emiten nikel juga membaik. "Emiten nikel sangat bergantung pada harga nikel dunia," ungkap Yuni, analis NH Korindo Sekuritas kepada KONTAN, Jumat (22/9). Faktor fundamental nikel saat ini memang positif. Salah satu penyebabnya, permintaan nikel dari sektor manufaktur Tiongkok meningkat. Ini ikut mendorong harga nikel.
Apalagi, Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada Juli lalu menyatakan pemerintahnya bakal memangkas produksi nikel demi memperbaiki lingkungan. Duterte mengancam akan menaikkan pajak untuk sektor tambang mineral. Filipina saat ini memegang kunci sebagai produsen bijih nikel terbesar di dunia. Bila produksi nikel Filipina dibatasi, maka produsen Indonesia dapat mengisi celah dan memasok suplainya yang terkoreksi. Dengan demikian, dalam momentum kenaikan harga nikel dunia, rata-rata harga jual atau average selling price (ASP) emiten produsen nikel berpotensi meningkat dan berdampak positif bagi kinerja keuangannya. Menurut Yuni, harga nikel yang stabil menjadi hal yang penting bagi kelangsungan bisnis emiten produsen nikel. Secara umum, dia melihat apabila harga nikel dapat stabil di kisaran US$ 11.000 per ton, maka sangat baik untuk kinerja emiten produsen nikel dalam jangka panjang. Analis Ciptadana Sekuritas Kurniawan Sudjatmiko juga menilai, jika harga nikel bisa stabil di atas US$ 9.500 hingga US$ 10.000 per ton, maka prospek dan kinerja emiten nikel berpotensi membaik. Kurniawan menyebutkan, kinerja emiten produsen nikel pada kuartal III-2017 akan meningkat dipicu oleh kenaikan harga komoditas nikel. Dari emiten produsen nikel, dia menjagokan saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). Alasannya, ANTM memiliki diversifikasi bisnis emas dan berencana menggenjot proyek feronikel. ANTM memang mencatatkan kerugian Rp 496,12 miliar di semester I-2017. Namun Kurniawan tetap optimistis terhadap prospek ANTM. Apalagi produksi feronikel emiten ini meningkat 12,3%
year on year (yoy) menjadi 9.327 ton dalam feronikel (TNi). Sedangkan produksi emas melandai 0,3% menjadi 1.013 kilogram (kg). Namun, penjualan menunjukkan sebaliknya. Volume penjualan feronikel ANTM turun 18% (yoy) dan emas turun 38,8% (yoy). Dalam risetnya belum lama ini, Kurniawan menilai, ANTM kemungkinan sengaja menahan penjualan feronikel lantaran harga komoditas tersebut sempat jatuh tajam pada semester I-2017. Apabila fokus pada komoditas nikel, kinerja ANTM diprediksi membaik. Apalagi, sejak April 2017, pemerintah telah memberikan izin ekspor mineral bijih nikel pada ANTM. Kurniawan merekomendasikan buy ANTM dengan target Rp 870 per saham.
Sementara Yuni menyebutkan, prospek INCO agak berat pada tahun ini. Pasalnya, pada kuartal II-2017 emiten ini mencatatkan penurunan volume penjualan sebesar 13% dan penurunan produksi nikel sebesar 4,4%. Jadi, INCO akan sangat tergantung dengan proyeksi harga komoditas nikel. Jika harga nikel tergelincir, menurut Yuni, maka prospek INCO kurang bagus. INCO juga mencatatkan kenaikan beban pokok pendapatan yang disinyalir berasal dari biaya bahan bakar yang tinggi. Yuni bilang, biaya bahan bakar dan oli naik 43% (yoy) menjadi US$ 33 juta. "Jika INCO bisa mencari strategi untuk menekan beban pokok dan menaikkan volume penjualan, maka dapat mengerek kinerja keuangan dan sahamnya," kata Yuni. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati