Prospek Emiten Restoran Masih Menantang, Cek Rekomendasi Sahamnya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri restoran di Indonesia terus menghadapi tantangan berat di tengah tekanan ekonomi dalam negeri.

Setelah pemutusan hubungan kerja (PHK) di PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST) sebagai pemegang lisensi KFC Indonesia, kondisi serupa dirasakan oleh PT Sarimelati Kencana Tbk (PZZA), pemegang lisensi waralaba Pizza Hut. 

Hingga September 2024, jumlah karyawan tetap di PZZA  berkurang sebanyak 371 orang. Sementara itu, jumlah karyawan KFC Indonesia dan anak usaha tercatat berkurang 2.274 orang dalam sembilan bulan terakhir.


Jumlah gerai PZZA juga terus menyusut. Per 30 September 2024, Pizza Hut hanya memiliki 595 gerai, turun dari 615 gerai pada akhir Desember 2023. 

Baca Juga: Sarimelati Kencana (PZZA) Lanjutkan Pembukaan 30 Gerai Baru Ristorante Tahun Ini

Sementara FAST juga melakukan efisiensi dengan mengurangi gerai restoran. 

"Per tanggal 30 September 2024, perusahaan mengoperasikan 715 gerai restoran, sedangkan per 31 Desember 2023 jumlahnya 762 gerai restoran," ungkap manajemen FAST dalam keterbukaan informasi, Kamis (31/10) lalu.

Terkait alasan penutupan gerai dan pengurangan karyawan, FAST menyebut kondisi ini merupakan dampak berkepanjangan dari pemulihan grup dari pandemi Covid-19, di mana penjualan belum mencapai tingkat yang diharapkan oleh manajemen, dan situasi pasar memburuk akibat dampak dari krisis Timur Tengah.

Sebagai bagian dari upaya berkelanjutan untuk merespons dan mengelola dampak negatif dari bisnis perusahaan, manajemen KFC akan mengambil berbagai langkah. Misalnya, memprioritaskan pengeluaran esensial untuk menjaga operasi, penggunaan restoran secara efektif untuk meminimalisir biaya tetap dan mencapai skala ekonomi, serta mendisposisi beberapa aset non-inti atau yang performanya kurang untuk memenuhi kewajiban finansial yang mendesak.

Prospek Kinerja Emiten Restoran

Founder Stocknow.id Hendra Wardana mengatakan industri restoran di Indonesia, khususnya emiten seperti FAST dan PZZA menghadapi tekanan berat tahun ini. Salah satu sentimen negatif utama adalah pelemahan daya beli masyarakat. 

Meski inflasi terjaga, pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya merata sehingga masyarakat cenderung menahan pengeluaran untuk kebutuhan non-esensial, termasuk makan di restoran. 

Kebijakan PHK yang dilakukan oleh kedua perusahaan juga memperlihatkan tantangan dalam menjaga efisiensi operasional di tengah penurunan penjualan. Selain itu, penutupan gerai yang dialami perusahaan menjadi indikator penurunan penetrasi pasar.

Baca Juga: Banding-Banding Kinerja Emiten Resto: Yang Cuan dan Boncos di Tengah Aksi Boikot

"Di sisi lain, rencana pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12% pada tahun depan dapat menambah tekanan pada margin usaha, terutama ketika daya beli masyarakat belum pulih sepenuhnya," kata Hendra kepada Kontan, Rabu (20/11).

Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Abdul Azis Setyo Wibowo menyoroti bahwa sentimen boikot menjadi salah satu faktor signifikan yang memengaruhi performa bisnis di sektor tersebut.

"Sentimen boikot masih menjadi sentimen negatif bagi industri restoran. Hal ini juga yang menekan kinerja mereka," ucap Azis kepada Kontan, Rabu (20/11).

Azis juga menyoroti secara prospek emiten restoran masih bisa berpotensi tertekan dikarenakan aksi boikot yang masih berlangsung. Di satu sisi fluktuasi rupiah juga bisa memengaruhi dari sisi cost. Oleh karena itu, Azis belum merekomendasikan untuk saham emiten restoran.

Baca Juga: Bermitra dengan 100 Petani, Sarimelati (PZZA) Produksi 80 Ton Paprika Per Tahun

Sementara Hendra memperkirakan prospek kinerja emiten restoran masih menantang. Namun, terdapat beberapa sentimen pendukung yang dapat membantu industri ini bertahan. 

Pertama, strategi digitalisasi seperti pengembangan aplikasi pemesanan dan kolaborasi dengan platform delivery dapat mendukung volume penjualan, terutama di kota-kota besar. 

Kedua, konsumsi masyarakat cenderung meningkat pada momen-momen tertentu seperti liburan dan perayaan akhir tahun yang dapat memberikan dorongan sesaat bagi pendapatan perusahaan. 

"Meski demikian, jika kebijakan PPN 12% diberlakukan tanpa penyesuaian lain, tekanan pada daya beli masyarakat berisiko memperburuk situasi. Pemerintah diharapkan dapat mempertimbangkan kembali kebijakan ini untuk menjaga stabilitas konsumsi domestik," ujar Hendra.

Hendra menilai dalam kondisi saat ini, saham restoran masih menghadapi risiko yang cukup besar, baik dari sisi fundamental maupun sentimen pasar. Untuk PZZA, rekomendasinya adalah sell dengan target harga Rp 100 per saham. Penurunan jumlah gerai dan karyawan tetap menunjukkan adanya potensi penurunan pendapatan yang signifikan. 

Sementara itu, FAST juga mendapat rekomendasi sell dengan target harga Rp 284 per saham. Meski KFC memiliki brand awareness yang kuat, efisiensi biaya dan strategi adaptasi terhadap daya beli masyarakat masih menjadi tantangan besar.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi