Prospek industri alat berat di 2019



Industri alat berat Indonesia pada tahun ini diramalkan tumbuh tipis bahkan cenderung stagnan. Ketua Himpunan Alat Berat Indonesia (Hinabi) mengatakan, penjualan alat berat akan menurun karena harga batubara berkalori rendah melemah sejak akhir 2018.

Target produksi alat berat tahun ini hanya mencapai 7.000 unit, lebih rendah dari target produksi alat berat pada 2018 yang mencapai 8.000 unit. Pada 2018, produksi alat berat mencapai 7.981 unit, naik 42% dari 2017 sebanyak 5.609 unit.

Di kuartal I-2019, produksi alat berat nasional naik tipis. Dari data Hinabi, produksi mencapai 1.733 unit atau naik 2,9% dari Kuartal I-2018 yang sebesar 1.684 unit.


Produksi terbesar masih dari jenis alat berat hydraullic excavator yang menyumbang 1.524 unit. Sisanya, produksi bulldozer, motor grader, wheel loader dan dump truck.

Pertambangan masih menjadi pasar terbesar penjualan alat berat. Emiten alat berat memprediksi penjualan tahun ini tetap tumbuh namun tak sekuat 2018. PT United Tractors Tbk (UNTR) mengatakan tahun ini kontribusi dari sektor pertambangan diperkirakan lesu, begitu pula sektor kehutanan. Sektor perkebunan juga melambat, apalagi alat berat UNTR hanya digunakan untuk membuka lahan perkebunan.

Tahun ini, UNTR menargetkan penjualan alat berat hanya 4.100 unit, turun 15,9% dibandingkan total penjualan 2018 sebanyak 4.879 unit. Penurunan target ini mempertimbangkan kondisi pasar, terutama dari sektor pertambangan yang mulai stagnan karena normalisasi harga batubara.

Pergerakan harga batubara memang masih menjadi salah satu sentimen utama yang akan mempengaruhi industri dan saham emiten alat berat. Sebab, sebagian besar penjualan alat berat masih menyasar industri tambang batubara. Sementara itu, alat berat di sektor pertambangan masih didominasi penjualan Komatsu yang sebesar 48%.

Kemudian sektor konstruksi menjadi pangsa pasar terbesar kedua dengan porsi 27%, sisanya kehutanan 13% dan 12% perkebunan.

Kami melihat, industri alat berat di 2019 lebih menantang. Pertama, terkait pengurangan permintaan batubara di China sampai saat ini. Pemerintah China masih membatasi impor batubara akibat melimpahnya batubara di sana.

Berdasarkan keterangan pelaku pasar, hingga kini pemerintah China masih memperpanjang waktu pemeriksaan bea cukai  (custom clearence) batubara impor menjadi 40 hari hingga dua bulan. Pada kondisi normal, pemeriksaan barang impor hanya membutuhkan waktu sekitar 20 hari.

Kedua, pergerakan harga batubara yang rawan berfluktuasi. China masih menguasai lebih dari separuh konsumsi batubara dunia. Bila permintaan energi China berkurang, maka bisa dipastikan permintaan energi dunia terpengaruh signifikan.

Tentunya setelah tujuan ekspor utama, China, membatasi impor, harga batubara menjadi tidak menentu, cenderung turun. Negara-negara pengekspor batubara ke China menjadi kelebihan produksi dan hal ini menyebabkan tergerusnya harga batubara.

Namun masih ada angin segar yang dapat mendorong industri alat berat. Industri non-batubara yang diprediksi meningkat. Pelaku usaha dapat melakukan diversifikasi bisnis tambang lain.

Prospek harga emas, nikel dan timah pada 2019 diprediksi membaik. Anak usaha PT Astra International Tbk (ASII), UNTR berminat mengakuisisi tambang lagi sebagai nilai tambah bisnis perusahaan setelah akhir tahun lalu merampungkan akuisisi tambang emas Martabe di Sumatra Utara. Melalui anak usahanya PT Danusa Tambang Nusantara, kini fokus melanjutkan operasional dan mengoptimalkan produksi emas tahun ini. UNTR membidik produksi emas 350.000 ons dari Martabe. Harga emas per 2 Mei 2019 sebesar US$ 1.271,55 per ons troi.

Kedua, Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) memproyeksikan pada 2019 pembiayaan alat berat masih menggeliat. Utamanya karena masih terdongkrak proyek pemerintah. Pada tahun ini, APPI memperkirakan pembiayaan alat berat setidaknya terdongkrak 2,5% dengan adanya proses konstruksi dari proyek pemerintah. Kami tetap optimistis sepanjang tahun ini sektor konstruksi, perkebunan dan kehutanan menjadi fokus penjualan alat berat.♦

Araminta Setyawati Analis Industri Bank Mandiri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi