KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor
poultry tengah tertekan dari berbagai arah. Selain tingginya harga pakan ternak, rencana pemerintah untuk kembali meningkatkan level pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di akhir tahun membatasi prospek di sektor ini. Maklum, PPKM ketat memberikan dampak besar bagi sektor poultry. Kondisi ini tercermin dari salah satu pemain di sektor ini, PT Japfa Comfeed Tbk (
JPFA). Margin operasional segmen ayam pedaging (broiler) JPFA pada kuartal tiga tahun ini minus 20,1%. Padahal, margin di kuartal sebelumnya masih 3,5%.
PPKM ketat di periode Juli menjadi pemicu utama lantaran melemahnya daya beli. "Sangat terbatasnya jam operasional pusat perbelanjaan dan restoran semakin menekan segmen ini," ujar analis Mirae Asset Sekuritas Emma Fauni belum lama ini.
Baca Juga: Saham-saham lapis dua dan tiga sedang menanjak, cek rekomendasi sahamnya Segmen broiler dominan untuk pendapatan konsolidasi JPFA. Penurunan perfoma di segmen ini menyebabkan JPFA mencatat pendapatan konsolidasi Rp 10,69 triliun, turun 5,7% dibanding kuartal sebelumnya, Rp 11,34 triliun. Mempertimbangkan perfoma tersebut, Emma merevisi perkiraan pendapatan JPFA hingga akhir tahun menjadi Rp 39,75 triliun. Sebelumnya, Emma memperkirakan JPFA mampu meraup pendapatan konsolidasi Rp 41,61 triliun. Ia juga menurunkan perkiraan laba bersih JPFA menjadi Rp 1,57 triliun dari sebelumnya Rp 2,29 triliun.
Sama seperti JPFA, segmen broiler menjadi kontributor utama pendapatan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (
CPIN). Penurunan di segmen ini menyebabkan CPIN mencatat penurunan pendapatan 7,2% secara kuartalan menjadi Rp 12,12 triliun kuartal tiga kemarin. Emma menurunkan perkiraan pendapatan CPIN akhir 2021 menjadi Rp 47,88 triliun dari sebelumnya Rp 48,46 triliun. Perkiraan laba bersih juga diturunkan menjadi Rp 3,14 triliun dari sebelumnya Rp 4,61 triliun.
Baca Juga: Faktor pemulihan ekonomi buat RHB Sekuritas mengubah rating sektor poultry Sebaliknya, PT Widodo Makmur Unggas Tbk (
WMUU) tidak mengalami apa yang dirasakan JPFA dan CPIN. Sebab, WMUU fokus pada segmen hilir (
downstream), yakni ayam potong alias karkas. "Harga ayam di level konsumen stabil dibanding level produsen," kata Emma. Ayam karkas umumnya langsung menyasar konsumen akhir. Kondisi ini membuat harga ayam karkas lebih stabil dan memberikan keuntungan bagi WMUU di tengah turunnya harga ayam broiler dan ayam usia sehari atau
day old chicken (DOC). Persaingan di industri ayam karkas memang cukup sesak. Namun, WMUU memiliki kapasitas produksi rumah potong yang besar. Menurut Emma, skala sebesar ini ditambah dengan fasilitas produksi dengan standar internasional mampu membuat WMUU menjadi yang paling efisien dengan kualitas produksi lebih baik dibanding pesaing. Emma memperkirakan, WMUU mampu meraup pendapatan Rp 2,89 triliun hingga akhir tahun ini. Sedang laba bersihnya diperkirakan mencapai Rp 197 miliar. Emma sejatinya melihat ada perbaikan daya beli masyarakat di kuartal empat sejalan dengan relaksasi PPKM. Ini menjadi kabar baik untuk sektor poultry secara keseluruhan. Namun, harga jagung yang menjadi komponen beban pokok di sektor poultry juga mengalami kenaikan. "Ini menjadi alasan kami konservatif untuk laba di sektor
poutry," imbuh Emma. Fahressi Fahalmesta, analis Ciptadana Sekuritas dalam risetnya memiliki pandangan senada. Relaksasi PPKM akan memperbaiki permintaan di sektor poultry.
Baca Juga: Jagung bakal disubsidi, simak rekomendasi pada saham CPIN, JPFA, WMUU dan SIPD Secara musiman, permintaan ayam juga cenderung naik memasuki kuartal tiga hingga kuartal empat setiap tahun. Kondisi ini mendorong harga ayam yang relatif lebih baik dibanding kuartal dua. Pasar juga sudah mengantisipasi kenaikan harga jagung. Namun, pasar juga sudah
priced in dengan sentimen perbaikan permintaan. Situasi tersebut menjadi salah satu alasan Fahressi mengambil sikap netral untuk sektor poultry. Pilihan sahamnya tersisa JPFA dan MAIN. Sedang saham CPIN dia rekomendasikan
hold lantaran harga saat ini sudah melampaui target harga darinya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli