Prospek investasi obligasi tahun 2021 diramal masih menarik



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek investasi di pasar obligasi tahun 2021 diperkirakan masih akan menarik. Meskipun potensi penurunan suku bunga akan terbatas tahun depan setelah penurunan cukup besar sepanjang tahun ini, tetapi pasar obligasi masih berpeluang terus meningkat.

Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto menilai prospek pasar obligasi masih menarik karena investor asing masih nyaman dengan pasar obligasi Indonesia. "Saat ini porsi investor asing sekitar 38%-40% di pasar obligasi kita. Meski sempat turun dibawah 30% saat awal pandemi, mereka sudah mulai balik lagi. Ini yang membuat pasar semakin menarik," katanya pada KONTAN, Rabu (9/12).

Selain itu, pasar domestik juga cukup kuat terutama dari dana pensiun dan perbankan. Likuiditas perbankan sangat longgar saat ini sehingga semakin banyak masuk ke obligasi Surat Utang Negara (SUN). 


Menurut Ramdhan, obligasi merupakan satu-satunya instrumen investasi yang punya ketahanan baik di tengah krisis yang terjadi akibat kepanikan global setelah mencuatnya pandemi Covid-19. Ia bilang, yield obligasi Surat Utang Negara (SUN) terus menguat dimana untuk tenor 10 tahun saat ini ada dikisaran 6,1%-6,2%, setelah sempat melemah pada awal-awal pandemi. 

Stimulus yang digelontor pemerintah dan regulator di sektor jasa keuangan membuat yield SBN cepat pulih. Itu terutama disebabkan oleh kondisi likiidtas perbankan yang sangat baik sehingga banyak masuk ke SBN. 

"Potensi turun tidak ada lagi. Pasar obligasi masih menarik tahun depan. Yield Indonesia masih relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara berkembang lainnya akan membuat asing masuk. Penurunan suku  bunga BI dan bunga global juga akan membuat investor mencari instrumen dengan yield lebih tinggi seperti obligasi," terang Ramdhan. 

Tantangan pasar obligasi adalah likuiditas di pasar, terutama pasar sekunder. Namun, Ramdhan menyakini pasar obligasi akan semakin likuid dengan semakin meningkatnya jumlah investor saat ini.

Baca Juga: Penerbitan obligasi korporasi turun, penerbitan reksadana terproteksi pun terganggu

Sementara Ivan Jaya EVP  Head of Wealth Management & Premier Banking Commonwealth Bank menilai prospek investasi obligasi pada tahun 2021 secara umum akan lebih terbatas dibandingkan tahun 2020 ini. 

Pasalnya, pergerakan harga obligasi berbanding terbalik dengan pergerakan tingkat suku bunga. Sepanjang tahun ini, Bank Indonesia (BI) sudah lima kali memangkas bunga acuan dengan total pemotongan 1,25%.  Sehingga tahun depan diperkirakan hanya akan ada pemangkasan satu sampai dua kali lagi sehingga potensi kenaikan harga obligasi itu akan lebih terbatas. 

Hanya saja dengan adanya berita positif dari perkembangan vaksin, menurut Ivan, akan membuat investor lebih agresif berinvestasi ke instrumen yang memiliki resiko lebih tinggi. "Dengan tren penurunan bunga, kami tmelihat tetap akan ada pergerakan dana dari deposito ke obligasi, atau bahkan ke saham untuk mencari return yang lebih tinggi," kata Ivan.

Saat ini, portofolio oblligasi menyumbang 40%-50% terhadap total dana kelolaan wealth management Commonwealth Bank. Kinerja instrumen obligasi ini tumbuh 125% secara year on year (YoY) pada kuartal III 2020 atau naik 30% dari awal tahun. Ini menurut Ivan didorong oleh penurunan suku  bunga BI. Tahun depan, perseroan menargetkan pertumbuhan kinerja obligasi ini  sekitar 20%-30%.

Bagi investor ritel yang ingin berinvestasi di obligasi, pilihan untuk menjual investasinya di pasar sekunder atau memegang sampai jatuh tempo (hold to maturity) tergantung pada profil resiko investor. 

Ivan bilang, jika masuk dalam tipe investor jangka pendek-menengah maka sebaiknya memiliki obligasi ritel yang memiliki fitur untuk diperjualbelikan di pasar sekunder. Dengan begitu, bisa mengambil kesempatan untuk cari capital gain dari pergerakan harga jangka pendek. 

Berdasarkan data hasil penjualan obligasi ritel Kementerian Keuangan di tahun 2020, obligasi ritel dengan fitur dapat diperjualbelikan di pasar sekunder memiliki hasil penjualan yang lebih tinggi dibandingkan produk sejenis tanpa fitur ini. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan masyarakat masih condong ke obligasi ritel yang dapat diperjualbelikan di pasar sekunder.

Selanjutnya: Pemerintah meraup dana lebih dari Rp 748 triliun dari lelang SUN & SBSN tahun ini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .