KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada November 2022 memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 50
basis points (bps) menjadi 5,25%. Alhasil, dalam empat bulan terakhir, total kenaikan bunga acuan telah mencapai 1,75%. Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto menilai, secara umum, kenaikan suku bunga yang masih cenderung berlanjut dapat menjadi tekanan bagi emiten menara telekomunikasi. Pasalnya, perusahaan menara rata-rata memiliki rasio utang yang cukup besar. Selain itu, sebagian besar utang berbentuk mata uang asing. Alhasil, pelemahan rupiah belakangan ini menjadi tambahan sentimen negatif yang menekan harga saham masing-masing.
Akan tetapi, secara prospek bisnis, perusahaan menara telekomunikasi masih membukukan pertumbuhan pendapatan yang kuat. Pada semester pertama 2022, pendapatan PT Sarana Menara Nusantara Tbk (
TOWR) meningkat 34% secara tahunan atau
year on year (YoY) menjadi Rp 5,32 triliun dan pendapatan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (
TBIG) tumbuh 11,18% YoY menjadi Rp 3,3 triliun. "Sehingga prospek jangka panjang tentu masih lumayan menjanjikan," ucap Pandhu saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (21/11).
Baca Juga: Kinerja Saratoga (SRTG) Turun di Kuartal III-2022, Simak Rekomendasi Sahamnya Secara valuasi, Pandhu menilai harga sahamnya juga masih relatif mahal. Apalagi laba berpotensi akan tergerus dengan pergerakan suku bunga dan depresiasi nilai tukar rupiah terutama pada kuartal ketiga ini, dimana kedua faktor tersebut bergerak cukup signifikan dibanding semester 1 2022. Melihat faktor-faktor tersebut, Pandhu memperkirakan prospek menara telekomunikasi dalam jangka pendek cenderung negatif. "Kami merasa harga saat ini masih belum cukup murah sehingga rekomendasi cenderung
wait and see dulu," ucap Pandhu. Ke depannya, pelaku pasar masih perlu mencermati seberapa besar dampak perubahan makroekonomi pada kinerja kuartal ketiga dan keempat tahun 2022 dan seberapa kuat perusahaan dapat mempertahankan labanya. Ia memprediksi,
support terdekat TOWR berada di level Rp 1.085 dan TBIG di Rp 2.210. Sambil menunggu rilis laporan keuangan per kuartal ketiga 2022, Pandhu mengatakan, level tersebut dapat dipantau sebagai
support rawannya. Sementara itu, dalam riset tanggal 30 September 2022, Analis Sucor Sekuritas Christofer Kojongian dan Adrianus Bias Prasuryo merekomendasikan
buy TBIG dengan target harga Rp 3.300 per saham.
Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham dari Emiten Indeks LQ45 yang Telah Laporkan Kinerja Keuangan Sucor Sekuritas menilai, TBIG tidak akan terlalu terdampak oleh kenaikan suku bunga yang terjadi belakangan ini. Pasalnya, sejak tahun 2020, TBIG memperoleh pendanaan dari obligasi, pinjaman, dan notes sekitar Rp 34 triliun dengan bunga yang jauh lebih rendah dibanding sebelum tahun 2020. Bunga USD notes yang diperoleh pada 2015-2019 berada di level 5,25%, sedangkan bunga USD notes sejak 2020 berkisar di 2,75%-4,25%. Sementara itu, tingkat bunga obligasi rupiah sejak 2020 berada di 3,60%-8,00% dari 8,00%-9,25% pada 2015-2019. Selain itu, TBIG cukup percaya diri dengan strategi pertumbuhan organiknya di saat para pesaing utamanya melakukan ekspansi inorganik secara agresif. Meskipun begitu, TBIG justru mencatatkan pertumbuhan tenant yang lebih tinggi ketika membangun menara sendiri. Saat melakukan akuisisi menara pada 2018 dan 2021 lalu, tingkat pertumbuhan tenant TBIG malah lebih rendah dari tingkat pertumbuhan menaranya. "Kami yakin, dengan strategi pertumbuhan organik yang lebih efisien, TBIG dapat bersaing di bisnis menara," ucap kedua analis Sucor Sekuritas tersebut. Di samping itu, TBIG juga memiliki margin EBITDA dan
tenancy ratio (rasio kolokasi) yang paling tinggi dibanding perusahaan menara lainnya dalam beberapa tahun terakhir. Per semester 1 2022, margin EBITDA TBIG berada di 87,4% dengan rasio kolokasi 1,9 kali.
Baca Juga: Kinerja Saham TOWR dan TBIG Negatif Pada Oktober 2022, Simak Prospeknya ke Depan Dalam riset tanggal 19 Oktober 2022, Head of Research Henan Putihrai Sekuritas Robertus Hardy dan Analis Henan Putihrai Sekuritas Steven Gunawan juga merekomendasikan
buy TBIG dengan harga Rp 3.200 per saham. Menurut keduanya, margin EBITDA TBIG merupakan yang tertinggi, yakni di 87,2%. Sementara itu, margin EBITDA TOWR berada di 84,7% dan margin EBITDA PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) di 76,5%.
Di sisi lain, valuasi TBIG merupakan yang tertinggi dibanding dua pesaing utamanya dengan EV/EBITDA sebesar 15,1x and EV/Tower 4,1x. Sementara itu, TOWR mempunyai EV/EBITDA sebesar 11,0x and EV/Tower 3,5x, serta MTEL mempunyai EV/EBITDA 10,5x dan EV/Tower 2,0x. Menurut keduanya, masih banyak ruang bagi perusahaan menara telekomunikasi untuk bertumbuh. "Hal tersebut seiring dengan permintaan data yang diperkirakan akan terus naik sehingga membutuhkan lebih banyak infrastruktur menara dan serat optik melalui perluasan
built-to-suit dan
co-location," kata dia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari industri informasi dan komunikasi tercatat tumbuh 10,6% CAGR dalam delapan tahun terakhir, dari Rp 369,5 triliun pada 2014 ke Rp 748,8 triliun pada 2021. Pertumbuhan ini mengindikasikan potensi pasar yang sangat besar dimana 54% populasi Indonesia didominasi oleh generasi Z dan milenial yang lebih
tech-savvy. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati