KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek emiten nikel tampak masih loyo. Sejumlah tantangan masih menghalangi emiten nikel untuk bisa memacu kinerja di sisa tahun ini. Riset terbaru RHB Sekuritas Indonesia menurunkan rekomendasi sektor ini dari
overweight menjadi netral. Alasannya, tingginya tingkat persediaan untuk beberapa logam dasar telah menimbulkan kekhawatiran tentang prospek yang tidak stabil. Harga komoditas masih menunjukkan sentimen ketidakpastian meskipun terdapat perbaikan indikator ekonomi, khususnya China. Aktivitas di sektor properti China tetap mempengaruhi permintaan nikel, meski sebagian beralih ke sektor industri dan manufaktur.
"Sayangnya, peralihan ini belum memberikan hasil yang diharapkan oleh pasar, dan beberapa insentif pemerintah China untuk meningkatkan sektor properti belum menunjukkan dampak yang positif," terang Fauzan Djamal dan Muhammad Wafi dalam riset yang diliris Senin (19/8). Adapun, harga nikel sempat menembus level US$ 20.000 per ton pada bulan April - Mei, sebelum kembali melandai ke level US$ 16.000 - US$ 17.000 per ton. RHB Sekuritas lantas merevisi estimasi rata-rata harga nikel dari sebelumnya U$ 18.500 menjadi US$ 17.500 per ton. Penurunan estimasi harga rata-rata nikel ini mempertimbangkan isu surplus persediaan, antusiasme terhadap kendaraan listrik atau Electric Vehicle (EV) yang sementara ini menurun, hingga potensi penurunan pangsa pasar baterai berbasis nikel terhadap alternatif lainnya.
Baca Juga: Harga Logam Dasar Naik Kamis (15/8), Tembaga LME ke US$9.032 per Ton Research Analyst Phintraco Sekuritas, Arsita Budi Rizqi mengamini
outlook komoditas nikel pada semester II-2024 masih
oversupply dan cenderung minim sentimen. Namun harga nikel yang masih bertahan di atas level US$ 16.550 per ton pada bulan Agustus. Menjelang akhir tahun 2024, Arsita memprediksi harga nikel akan menanjak di atas bulan ini, yakni pada kisaran US$ 17.500 per ton. Dengan estimasi harga itu, maka emiten nikel masih memiliki prospek yang positif untuk memperkuat posisi
cash margin. Arsita melihat sentimen terdekat yang dapat memengaruhi harga nikel adalah mulai masuk musim puncak produksi stainless steel pada September - Oktober 2024. Hanya saja, Arsita memiliki catatan bahwa sebagian besar penambang nikel sudah memperoleh perizinan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), yang bisa menjadi faktor pendongkrak produksi. "Dengan demikian, kami menilai terdapat beberapa risiko yang akan mempengaruhi terhambatnya perbaikan harga nikel. Yaitu
oversupply yang tidak mereda, perlambatan perekonomi China yang masih berlanjut, serta lesunya permintaan nikel," kata Arsita kepada Kontan.co.id, Rabu (21/8). Dalam risetnya, Fauzan dan Wafi memprediksi para perusahaan nikel, khususnya pemain smelter akan lebih fokus pada risiko penurunan margin dan akan mengejar pertumbuhan laba bersih. Dus, para pelaku di sektor ini bakal menggenjot efisiensi biaya, khususnya energi, sambil berusaha meningkatkan output untuk mempertahankan pendapatan utama. Rekomendasi Saham Jika berkaca dari kinerja separuh pertama tahun 2024, sebagian emiten nikel mengalami penurunan laba. Contohnya PT Vale Indonesia Tbk (
INCO) yang mengalami penurunan laba bersih sebanyak 82,05% secara tahunan atau
Year on Year (YoY) menjadi US$ 37,28 juta. Keuntungan PT Aneka Tambang Tbk (
ANTM) turut menyusut sebanyak 17,55% (YoY) menjadi Rp 1,55 triliun. Meski perlu dicatat, kontribusi laba ANTM tidak hanya berasal dari nikel, tapi dari komoditas mineral-logam yang lebih beragam. Emiten nikel lain yang mengalami penurunan laba bersih adalah PT Ifishdeco Tbk (
IFSH). Hingga periode Juni 2024, laba bersih IFSH merosot 36,32% (YoY) menjadi Rp 19,23 miliar. Tapi di sisi lain, ada juga emiten nikel yang berhasil menumbuhkan keuntungan, yakni PT Trimegah Bangun Persada Tbk (
NCKL). Laba bersih emiten yang dikenal sebagai Harita Nickel ini naik 2,18% (YoY) menjadi Rp 2,80 triliun. Sementara itu, segmen bisnis nikel mulai berkontribusi bagi PT Harum Energy Tbk (
HRUM). Kontribusi dari feronikel dan nickel matte mampu mengimbangi penurunan pendapatan dari penjualan batubara.
Baca Juga: Cek Rekomendasi Saham Pilihan Emiten Energi dan Tambang di Tengah Reli IHSG Sedangkan dari sisi pergerakan harga saham, mayoritas emiten nikel mengakumulasi penurunan jika diakumulasi secara
year to date hingga perdagangan Rabu (21/8). Kendati saat ini menghadapi sejumlah tantangan, tapi secara jangka panjang prospek nikel masih punya peluang. Fauzan dan Wafi menyoroti adopsi kendaraan tanpa emisi khususnya untuk ekosistem EV akan menjaga permintaan nikel di masa depan.
Head of Research Mega Capital Sekuritas (InvestasiKu), Cheril Tanuwijaya sepakat, permintaan EV bakal menjadi katalis positif untuk emiten nikel. Pendongkrak lainnya bisa datang dari tren kecerdasan buatan yang membutuhkan lebih banyak produksi chip, serta efek pemangkasan suku bunga The Fed terhadap harga komoditas logam.
Hanya saja sebagai pilihan investasi, Cheril saat ini juga menyematkan rekomendasi netral terhadap saham nikel. Secara valuasi dan prospek profitabilitas, Cheril melirik saham PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) untuk target harga Rp 600 dan
stoploss di Rp 530, serta NCKL dengan target Rp 990 dan
stoploss di Rp 890. Secara fundamental dan prospek bisnis, Arsita menjagokan INCO dengan potensi
fair value di level harga Rp 4.370. Dari sisi teknikal, Arsita menyarankan
trading buy saham PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) dengan target harga Rp 2.480 - Rp 2.500 dan
stoploss jika turun ke bawah Rp 2.300. Sedangkan Fauzan dan Wafi menyematkan rekomendasi
trading buy INCO untuk target harga Rp 4.300 dan buy ANTM dengan target harga di Rp 1.500. Selain itu, pelaku pasar bisa mempertimbangkan sell MDKA. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Putri Werdiningsih