KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar obligasi Indonesia baru saja mendapat kabar yang kurang menyenangkan.
Hedge fund seperti Pinebridge & Aberdeen baru saja menurunkan penilaian mereka ke pasar obligasi Indonesia. Padahal, baik Pinebridge & Aberdeen sempat mengidolakan pasar obligasi Indonesia karena menawarkan yield tertinggi kedua di Asia. Kedua
hedge fund ini mengkhawatirkan efek
burden sharing, serta sikap Bank Indonesia ke depan terkait aksi pembelian surat utang besar-besaran di tengah ancaman resesi. Head of Economics Research Pefindo Fikri C Permana tak menampik bahwa saat ini obligasi Surat Utang Negara (SUN) memang tengah tertekan. Salah satu faktornya adalah kekhawatiran para investor asing mengenai besarnya outstanding SUN Indonesia dibanding PDB Indonesia.
“Rasio utang Indonesia dibanding GDP saat ini sekitar 35%, sementara
peers Indonesia yakni India dan Filipina masing-masing 22% dan 27%. Dari segi neraca keuangan, India dan Filipina pun lebih baik dari Indonesia sehingga risiko pasar obligasi Indonesia pun pada akhirnya meningkat,” kata Fikri ketika dihubungi Kontan.co.id, Kamis (1/10).
Baca Juga: Pemerintah: Hasil penjualan SBN 2020 bisa digunakan untuk danai PEN tahun 2021 Selain itu, Fikri menilai dengan risiko global yang tengah meningkat saat ini, investor asing akan punya kecenderungan meninggalkan
emerging markets. Para investor asing akan lebih memilih untuk berinvestasi di daerah asal mereka. Fikri mencontohkan Aberdeen yang lebih memilih Uni Eropa maupun Amerika Serikat ketimbang di
emerging markets, seperti Indonesia. Dengan adanya
capital outflow, Fikri menyebut pasar obligasi Indonesia jelas lebih tertekan dibanding pasar obligasi India dan Filipina. Hal ini tidak terlepas dari masih bergantungnya pasar SBN terhadap investor asing. Fikri menyebut hampir 30% SBN dimiliki oleh asing, sementara India dan Filipina hanya 8% dan 15%. Terkait kebijakan
burden sharing antara BI dengan pemerintah, Fikri menilai kebijakan ini belum menunjukkan dampak buruk. Memang akibat kebijakan ini, neraca bank sentral akan tertekan, tapi di satu sisi akan menjaga
yield SBN Indonesia tetap kompetitif. Selain itu, dengan asing yang sedang keluar, praktis kebijakan ini bisa mendongkrak kepemilikan SBN oleh investor domestik.
Baca Juga: Risiko obligasi Indonesia naik seiring kekhawatiran akan kebijakan burden sharing “Bank sentral kan trennya beri suku bunga acuan sangat rendah, sementara Indonesia
real yield-nya masih besar karena di atas suku bunga acuan BI dan lebih tinggi dari angka inflasi. BI pun kan posisinya lebih sebagai
standby buyer, bukan sebagai pembeli utama, jadi
burden sharing ini masih minim dampaknya,” jelas Fikri. Oleh karena itu Fikri menilai ke depan pasar obligasi Indonesia masih menarik, terlebih fundamental ekonomi Indonesia juga masih baik. Mulai dari angka inflasi yang justru deflasi, rupiah yang stabil, hingga
spread SBN seri 10 tahun dengan US Treasury masih di 600 basis poin. Hanya saja perlu diingat, dari segi risiko memang mengalami peningkatan.
“Pada akhirnya balik ke prinsip investasi,
high risk high return, tapi secara umum obligasi Indonesia masih prospektif. Tapi jika risiko utama, yakni penanganan dan dampak pandemi virus corona bisa diminimalisir,
yield Indonesia akan semakin menarik,” papar Fikri. Fikri memperkirakan, jika pemerintah bisa menangani risiko pandemi ke pasar keuangan dan pasar modal seminimal mungkin,
yield untuk seri acuan 10 tahun bisa ada di kisaran 6,2%-6,5% pada akhir tahun nanti. Namun jika risiko masih berlanjut, Fikri menyebut yield akan ada di kisaran 7% sementara
spread dengan US Treasury bisa sebesar 650 basis poin.
Baca Juga: Kemenkeu akui pasar keuangan di Indonesia masih terbilang dangkal Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati