Prospek Pergerakan Dolar AS di Tengah Peluang Pemangkasan Suku Bunga The Fed



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Dolar Amerika Serikat (AS) diprediksi terus longsor karena tanda-tanda pemangkasan suku bunga kian jelas. Investor sekarang bahkan lebih memperdebatkan besaran pemangkasan suku bunga Federal Reserve (The Fed).

Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures Nanang Wahyudin mencermati, dolar AS melemah terhadap rivalitas utama disebabkan oleh ekspektasi perlambatan ekonomi AS yang mencuat. Hal itu diawali kemunduran dari angka ketenagakerjaan Amerika, pada Non Farm Payroll (NFP) dan Unemployement Rate bulan Juli lalu.

Ekonomi AS yang melambat tersebut menyiratkan segera akan adanya pemangkasan suku bunga the Fed di bulan September. Asumsi itu pun diperkuat data sektor manufaktur yang masih mengalami kontraksi, sehingga melemahkan dolar.


“Inflasi konsumen dan produsen AS juga sudah menunjukkan perlambatan, makin menguatkan sinyal pemangkasan the Fed di bulan September,” kata Nanang kepada Kontan.co.id, Kamis (15/8).

Adapun data inflasi Consumer Price Index (CPI) AS bulan Juli terpantau lebih rendah ketimbang prediksi pasar. Inflasi CPI Juli tercatat sebesar 0,2%, setelah pada Juni mencatat deflasi. Secara tahunan, inflasi CPI tercatat di angka 2,9%, lebih kecil dibanding bulan sebelumnya dan perkiraan pasar.

Baca Juga: Arah Rupiah Menanti Data Penjualan Ritel dan Klaim Pengangguran AS

Sementara itu, data Producer Price Index (PPI) AS menunjukkan kenaikan tipis 0,1% secara bulanan pada Juli, setelah meningkat 0,2% pada Juni. PPI tahunan AS hingga Juli tercatat naik 2,2%, lebih rendah daripada 2,7% di bulan sebelumnya.

Alhasil indeks dolar AS kembali terpukul ke area 102. Sebelumnya, indeks dolar berdiri tangguh di level kisaran 105-106 selama tahun 2024.

Di samping itu, Nanang mengamati, kuatnya potensi suku bunga bank sentral AS akan dipangkas itu semakin diperparah tekanan eskternal. Seperti sikap pengetatan moneter Bank Sentral Jepang (BoJ) yang menaikkan suku bunga acuan, kondisi ini menguntungkan Yen karena permintaan terhadap carry trade, sehingga berdampak pada pelemahan dolar.

Nanang berujar, sekarang yang menjadi pertanyaan adalah berapa porsi pemangkasan suku bunga Fed, apakah 50 bps atau 25 bps. Keputusan ini semua akan tergantung bagaimana data terbaru nantinya, baik itu angka ketenagakerjaan di awal September dan inflasi sebelum rapat The Fed pada 18-19 September mendatang.

Selain itu, pekan depan bakal ada pertemuan Symposiun Jackshon Hole. Dalam pertemuan tersebut, investor akan mencermati pidato ketua Fed Jerome Powell, apakah menyinggung soal kebijakan pelonggaran moneter.

“Bila sinyal pelonggaran cukup kuat di sampaikan Powell maka tekanan dolar pun makin dalam,” imbuh Nanang.

Selanjutnya, pergerakan dolar AS akan dipengaruhi oleh sentimen suku bunga dan data ekonomi sebagai tolak ukurnya, serta perkembangan geopolitik di Timur Tengah. Serta, faktor pemilu juga bisa menentukan nasib dolar AS kala berada di bawah pemerintahan baru.

Baca Juga: Rupiah Spot Ditutup Melemah ke Rp 15.700 Per Dolar AS Pada Hari Ini (15/8)

Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Katarina Setiawan mengatakan, pelaku pasar memperkirakan BI Rate akan turun 100 bps dan suku bunga The Fed turun sebesar 150 bps hingga akhir 2025.

Untuk sisa tahun ini, Bank Indonesia (BI) sendiri kemungkinan akan memangkas suku bunga dua kali di tahun ini dengan besaran masing-masing 25 basis poin (bps). Proyeksi itu sejalan dengan proyeksi Fed Funds Rate (FFR) di pangkas tiga kali tahun ini dan masih berpotensi dilanjutkan hingga tahun 2025.

Sementara terkait waktu atau timing pemangkasan suku bunga Fed nantinya akan sangat bergantung pada data-data pertumbuhan ekonomi dan juga data inflasi. Sebab, bank sentral AS itu sangat berhati-hati untuk memutuskan kebijakan moneternya seperti yang telah terlihat berulang kali.

Kapan waktu suku bunga dipangkas dan juga besaran pemangkasan suku bunga akan sangat ditentukan data inflasi terbaru yang dikombinasikan dengan data-data pertumbuhan ekonomi diantaranya Unemployment, PMI, hingga Retail Sales.

“Yang perlu ditekankan saat ini adalah bahwa puncak suku bunga itu sudah tercapai dan sekarang era siklus baru pemotongan suku bunga,” ujar Katarina dalam market update MAMI yang digelar, Rabu (14/8).

Katarina menyoroti, sebagian besar bank sentral utama dunia sudah melakukan pemotongan bunga acuan di tahun ini seperti Swiss, Swedia, Kanada hingga Bank Sentral Eropa (ECB). Sehingga, langkah pemangkasan suku bunga The Fed sebagai bank sentral terbesar dunia dinilai tinggal menunggu waktu saja.

Perubahan ekspektasi The Fed yang santer terdengar mulai bulan Juli tersebut pun telah meredakan tekanan bagi rupiah. Hal itu terlihat dari investor asing mulai beli bersih di pasar saham dan obligasi pada Juli, setelah tiga bulan berturut-turut lakukan jual bersih.

Selain itu, lanjut Katarina, tekanan Rupiah yang mereda juga diindikasikan oleh rata-rata imbal hasil lelang Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang menurun. Frekuensi lelang SRBI juga berkurang menjadi hanya satu kali dalam seminggu mulai bulan Agustus, dari sebelumnya seminggu dua kali lelang yang menunjukkan BI ingin menjaga rupiah stabil di posisi saat ini.

Dari sisi tingkat inflasi domestik, MAMI memandang bahwa inflasi ke depan tetap akan berada di rentang yang ditargetkan Bank Indonesia. Sehingga ruang pemangkasan suku bunga acuan bagi BI cukup besar, walau mungkin tidak akan sebesar penurunan suku bunga The Fed.

Baca Juga: Data Inflasi AS Makin Landai, Bitcoin Nantikan Pemangkasan Suku Bunga di September

“Besaran pemangkasan suku bunga oleh BI diperkirakan lebih konservatif dibandingkan pemangkasan suku bunga The Fed. Hal tersebut dilakukan untuk memperlebar selisih suku bunga dengan AS demi menjaga stabilitas Rupiah,” jelas Katarina.

Manulife Aset menilai, imbal hasil saat ini dianggap masih cukup menarik, di mana selisih imbal hasil SBN 10Y - UST 10Y berada di 288 bps (lebih tinggi dari rata-rata satu tahun sebesar 245 bps). MAMI pun memperkirakan imbal hasil SBN 10 tahun akan berada di kisaran 6,00% – 6,25% hingga akhir tahun ini.

Namun demikian, Katarina menuturkan, investor tetap perlu mengantisipasi risiko negatif di antaranya adalah eskalasi mendadak konflik geopolitik dunia, potensi resesi AS, serta kebijakan fiskal domestik.

Katarina memperkirakan, Rupiah hingga akhir tahun kemungkinan masih akan berada di kisaran Rp15.400 – 16.000 per dolar AS. Meredanya tekanan pada Rupiah dan kembalinya arus dana asing ke pasar domestik menjadi faktor pendukung.

Sementara itu, Nanang melihat, arus masuk atau inflow yang masuk Indonesia bisa membawa rupiah menguat ke Rp 14.600 per dolar AS pada akhir 2024. Level di bawah Rp 15.000 per dolar AS dipandang merupakan nilai wajar bagi Rupiah.

Nanang memproyeksi, pelemahan dolar dampak dari pemangkasan suku bunga acuan akan menguntungkan rupiah. Mata uang garuda bakal lebih kuat karena berpotensi lebih banyak arus masuk (inflow) ke Asia, termasuk Indonesia.

Kepimpinan baru di Indonesia pada Oktober mendatang turut menjadi daya tarik bagi investor. Investor akan melihat bagaimana susunan kabinet dalam pimpinan presiden Prabowo nanti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari