Prospek positif, pasar obligasi bakal ramai di akhir tahun



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren kenaikan harga obligasi dinilai masih akan terbatas, lantaran selisih antara yield Tanah Air dan US Treasury semakin menipis. Meskipun begitu, analis menilai tren pasar obligasi di sisa 2019 masih cukup menarik.

Mengutip Bloomberg, pada perdagangan Rabu (16/10) indeks Inter Dealer Market Assosiation (IDMA) tercatat naik 0,12% ke level 101,18 sekaligus jadi level tertinggi. Begitu juga dengan indeks Indonesia Composite Bond Index (ICBI) yang tercatat menguat 0,11% ke level tertinggi 268,96.

Analis Fixed Income MNC Sekuritas I Made Adi Saputra menilai, kenaikan harga yang terjadi pada indeks IDMA dan ICBI karena adanya spekulasi penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) satu kali lagi atau 25 basis poin (bps) menuju level 5% di sisa tahun ini. Di sisi lain, Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) juga masih akan memangkas suku bunga acuannya di Oktober atau Desember tahun ini. 


Sentimen perang dagang antara AS dengan China mulai memberikan sedikit harapan dengan beberapa kesepakatan yang bakal diambil kedua negara tersebut. Meskipun, suatu saat sentimennya bisa kembali memanas.

"Tapi setidaknya, berbagai kondisi tersebut membuat investor lebih berani masuk ke aset berisiko, termasuk ke surat utang negara (SUN). Apalagi, didukung penurunan angka credit default swap, sehingga persepsi pasar terhadap aset Indonesia lebih bagus," jelas Made kepada Kontan.co.id, Kamis (17/10).

Baca Juga: Harga obligasi tinggi, ada peluang untuk masuk sebelum terlambat

Hanya saja, Made menekankan masih ada beberapa faktor yang perlu diwaspadai, seperti kondisi neraca pembayaran (NPI), defisit neraca perdagangan, hingga data defisit transaksi berjalan (CAD) di bulan depan. Menurutnya, berbagai data tersebut bisa seketika membuat nilai tukar bergejolak dan berdampak pada prospek obligasi ke depan.

Made mengaku, kenaikan indeks IDMA dan ICBI yang mencapai rekor saat ini mencerminkan bahwa harga obligasi tengah tinggi. Namun, kondisi tersebut sejauh ini belum berbahaya, karena dari sisi yield SUN dibandingkan dengan regional, milik Indonesia masih lebih atraktif. Alhasil SUN Tanah Ait masih menjadi pilihan, selama inflow yang masuk tidak disertai pelemahan rupiah.

Ke depannya, MNC Sekuritas memprediksi yield untuk tenor 10 tahun berada di 7,1% sedangkan untuk tenor 5 tahun berada di level 6,25%. Peluang bagi yield turun juga masih terbuka, sembari menanti rilis data NPI dan CAD yang menjadi cerminan fundamental. 

Di sisi lain, penurunan yield juga berisiko dan berdampak pada menurunnya daya tarik SUN bagi investor asing.

Hal lain yang juga perlu dicermati saat ini, yaitu bergesernya preferensi investor asing, di mana sebelumnya investor asing cenderung masuk pada aset-aset bertenor panjang. Namun, Made mengungkapkan saat ini investor asing cenderung masuk ke aset dengan tenor dua tahun hingga lima tahun atau 5 tahun-10 tahun. 

"Ada perubahan preferensi investor asing, kalau kami menilainya itu sebagai bentuk kehati-hatian dari investor asing," ungkapnya. 

Meskipun begitu, Made optimistis prospek pasar obligasi di akhir tahun masih positif. Bahkan faktor supply dan demand sudah diperhitungkan, khususnya ketika pemerintah sudah memenuhi target penerbitan SUN, maka ada potensi lelang Desember dibatalkan. 

Dengan begitu, potensi kenaikan demand obligasi di pasar berpeluang meningkat di akhir tahun dan berpotensi mendorong yield turun. 

Baca Juga: Tahun Depan, Penerbitan Obligasi Korporasi Bakal Kembali Ramai premium

Pasar obligasi juga akan dibanjiri perusahaan-perusahaan asuransi dan dana pensiun yang memiliki kewajiban untuk mengalokasikan 30% preminya ke SBN. 

"Perusahaan asuransi yang menambah preminya di akhir tahun untuk kejar target juga perlu menambah alokasinya di SBN dan ini jadi katalis positif dari domestik. Pasar akan ramai di akhir tahun, apalagi kalau pemerintah tidak menerbitkan lelang baru," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi