KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja indeks reksadana mayoritas tertekan sepanjang Oktober 2024. Hanya reksadana pasar uang yang mampu mempertahankan kinerja positif, sebesar 0,38%. Berdasarkan data Infovesta, indeks reksadana saham yang mencatatkan penurunan kinerja terbesar, yakni 0,70%. Disusul indeks reksadana pendapatan tetap yang minus 0,61% dan indeks reksadana campuran yang turun 0,57%. CEO PT Pinnacle Persada Investama alias Pinnacle Investment, Guntur Putra mengatakan kinerja reksadana yang negatif disebabkan oleh berbagai faktor eksternal dan internal. Faktor global seperti ketidakpastian ekonomi di Amerika Serikat (AS) menjelang Pilpres dan FOMC.
Lanjutnya, beberapa pekan lalu ada indikasi dan ekspektasi pasar terkait kemungkinan the Fed untuk tidak memangkas tingkat suku bunga di FOMC minggu depan seiring beberapa indikator data ekonomi AS yang di rilis. Alhasil, yield US Treasury naik dan dolar AS menguat sehingga berimbas terhadap pasar obligasi, saham dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Disamping itu, kondisi pasar yang fluktuatif dan faktor geopolitik juga memengaruhi sentimen investor di seluruh dunia, termasuk Indonesia. "Selain itu, ketidakpastian dalam pertumbuhan ekonomi dan tekanan inflasi juga berkontribusi pada penurunan kinerja di berbagai indeks reksadana," ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (3/11).
Baca Juga: Kinerja Reksadana Tertekan Sepanjang Oktober 2024 Di tengah ketidakpastian itu, reksadana pasar uang mampu menjaga imbal hasil yang stabil. Sebab, mayoritas investasinya ditempatkan di instrumen pasar uang seperti deposito dan obligasi jangka pendek yang lebih aman dan cenderung tidak terpengaruh oleh volatilitas pasar saham. "Selain itu, reksadana pasar uang mendapatkan keuntungan dari tren suku bunga yang cenderung stabil atau bahkan naik, yang berdampak positif pada return instrumen ini," paparnya.
Prospek ke depan
Pekan ini, pilpres AS akan selesai dan juga FOMC akan diselenggarakan. Guntur menilai hal itu akan memberikan kejelasan untuk pasar. Sehingga diharapkan ada stabilitas di pasar akan meningkat, yang bisa memicu kenaikan kinerja reksadana, terutama pada reksadana saham dan campuran. Namun ia menegaskan bahwa hal tersebut akan tergantung dengan presiden yang terpilih dan kebijakan global oleh pemerintahan AS yang baru. Karenanya, volatilitas secara jangka pendek akan masih berlangsung. Guntur berpandangan, jika Trump memenangkan pilpres AS maka ada potensi untuk '
trade tensions', terutama dengan China. Trump cenderung menjalankan kebijakan ekonomi yang proteksionis, seperti menaikkan tarif impor. Ketegangan perdagangan yang lebih tinggi, terutama dengan China, dapat berdampak negatif pada ekonomi global. Indonesia mungkin akan terkena imbas karena ketergantungan pada rantai pasokan global dan harga komoditas. Pada saat yang bersamaan, Trump cenderung lebih disukai oleh pasar dan Wall Street karena ada peluang untuk pemotongan pajak dan deregulasi. Trump mungkin akan kembali mendorong pemotongan pajak bagi korporasi dan deregulasi, yang bisa menguntungkan pasar saham AS dalam jangka pendek. "Jika ini memicu rally di pasar AS, pasar saham Indonesia dapat terpengaruh positif karena adanya aliran modal masuk," katanya. Di sisi lain, terdapat risiko terkait
'market uncertainty' dengan gaya kepemimpinan Trump yang cenderung tak terduga dan sering menciptakan volatilitas di pasar. Jika terdapat ketidakpastian atau kebijakan yang memicu konflik geopolitik, ini bisa berdampak negatif pada pasar saham global. Sementara jika Kamala yang memenangkan pemilu, dari sisi peluang diharapkan adanya kontinuitas kebijakan, stabilitas, dan diplomasi. Kamala diperkirakan akan membawa pendekatan yang lebih diplomatis dan terukur terhadap kebijakan luar negeri dan perdagangan, sehingga bisa menenangkan pasar global. "Stabilitas ini biasanya menarik bagi investor asing, termasuk ke negara berkembang seperti Indonesia," sebutnya. Untuk risikonya, ada kemungkinan Kamala mempertimbangkan kenaikan pajak korporasi untuk mendanai program sosial. Meski ini bisa memberikan manfaat domestik, langkah ini juga dapat menekan keuntungan perusahaan multinasional yang berbasis di AS, mengurangi kepercayaan investor. Hal tersebut juga bisa memicu arus modal keluar karena investor mungkin mencari pasar dengan beban pajak yang lebih rendah. Disamping itu, jika pemerintahannya memperkenalkan program fiskal besar-besaran, hal ini bisa memberi tekanan pada Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga guna mengendalikan inflasi, yang akan memengaruhi biaya pinjaman secara global. "Kebijakan moneter yang lebih ketat di AS biasanya memperkuat nilai dolar, yang dapat menciptakan volatilitas di pasar negara berkembang, terutama yang bergantung pada investasi asing," lanjutnya. Untuk hasil FOMC, Guntur menilai jika kebijakan The Fed lebih dovish atau ada sinyal kepastian ekonomi di AS, indeks-indeks ini dapat memiliki potensi untuk melaju karena minat investor terhadap aset berisiko akan kembali meningkat. "Namun tentuya banyak faktor yang juga dapat mempengaruhi kinerja reksadana," tutupnya.
Baca Juga: Pengamat: Pembentukan Dana Pensiun OJK Rawan Berbenturan dengan Konflik Kepentingan Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati