KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan
yield SUN acuan 10 tahun akan memberikan tekanan kinerja reksadana pendapatan tetap di jangka pendek. Namun, prospeknya tetap menarik dengan potensi pemangkasan suku bunga lanjutan. Direktur Utama PT Surya Timur Alam Raya Asset Management (STAR AM) Hanif Mantiq mengatakan, akibat meningkatnya konflik di Timur Tengah, harga minyak naik. Oleh karena itu, potensi perubahan arah inflasi Amerika Serikat (AS) mungkin terjadi. Ditambah dengan data tenaga kerja AS yang lebih kuat dari perkiraan, telah menyebabkan konsensus menurunkan perkiraan besaran pemotongan suku bunga yang akan dilakukan oleh The Fed.
Sebelumnya, konsensus memperkirakan pemotongan sebesar 50 basis poin (bps) pada bulan November, sekarang 87% dari konsensus memperkirakan pemotongan sebesar 25bps pada bulan November. Sebagai hasil dari ekspektasi pemotongan suku bunga FFR yang lebih bertahap, hal ini telah menyebabkan indeks dolar (DXY) menguat. Hal ini memberikan tekanan pada rupiah dan meningkatkan imbal hasil obligasi.
Baca Juga: Perluas Jaringan Penjualan Reksa Dana Indeks, BNI Asset Tambah 9 Produk ke Jenius Kenaikan
yield SUN acuan 10 tahun ini memang dapat menekan prospek reksadana pendapatan tetap. "Kenaikan
yield umumnya berarti penurunan harga obligasi, sehingga berdampak negatif pada nilai aset reksadana yang memiliki obligasi dalam portofolionya," ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (9/10). Meski begitu, Hanif menilai reksadana pendapatan tetap pada tahun ini tetap menarik bagi investor. Sebab, sejak awal tahun (Ytd), dibandingkan dengan jenis reksadana lainnya, kinerjanya memberikan performa yang lebih baik. Berdasarkan data Infovesta, Fixed Income Fund Index tumbuh 3,95% YTD sampai dengan September 2024. Sementara itu, Money Market Fund Index 3,52% Ytd, Balanced Fund Index sebesar 3,17% Ytd, dan Equity Fund mencatatkan -1,83% Ytd. Di tengah tekanan
yield, Hanif menilai reksadana pendapatan tetap bisa mendapatkan manfaat dari penurunan tingkat suku bunga yang masih akan dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) dan The Fed hingga akhir tahun 2024. Hal itu bisa meningkatkan nilai obligasi di portofolio. Menurutnya, di tengah kondisi ekonomi global dan domestik serta geopolitik yang tidak stabil, reksadana pendapatan tetap yang didominasi oleh obligasi korporasi menjadi lebih menarik. Sebab, kupon yang lebih tinggi dan volatilitasnya yang lebih kecil dibandingkan dengan obligasi pemerintah yang sangat sensitif dengan pergerakan tingkat suku bunga. "Meski demikian perlu diperhatikan juga bahwa obligasi korporasi memiliki risiko
default yang lebih besar ketimbang obligasi pemerintah," papar Hanif.
Baca Juga: Kinerja Unitlink Saham Paling Moncer per September 2024, Ini Saran untuk Investor Head of Business Development Division Henan Putihrai Asset Management (HPAM) Reza Fahmi mengamini. Menurutnya, meskipun ada tekanan dari kenaikan
yield, reksadana pendapatan tetap masih bisa menarik, terutama bagi investor yang mencari instrumen dengan risiko menengah dan
return yang lebih stabil dibandingkan saham. "Proyeksi
return reksadana pendapatan tetap tahun ini diperkirakan masih bisa berada di kisaran 6%-7% per tahun, tergantung pada komposisi portofolio dan kondisi pasar. Reza mencontohkan HPAM Ultima Obligasi Plus masih mampu mencetak
return 7,46% per 7 Oktober 2024. Berdasarkan
factsheet perusahaan per 30 Agustus 2024, mayoritas produk tersebut berisikan obligasi pemerintah sebesar 54,5% dari total portofolio. Adapun 10 aset pencetak kinerja terbaik (alphabetical) dari BRPT03ACN3, FR0087, FR0096, FR0097, FR0098, FR0100, FR0101, FR0102, LPPI02BCN2, dan MDKA04BCN6. Namun di tengah ketidakpastian yang meningkat, Reza menilai bahwa produk reksadana pendapatan tetap yang mayoritas berisikan obligasi korporasi lebih menawarkan
yield yang lebih tinggi, tetapi juga dengan risiko yang lebih besar. Sementara portofolio yang berisi obligasi pemerintah tentu yield akan lebih rendah, tetapi lebih aman. "Pilihan antara keduanya tergantung pada profil risiko investor," terangnya. Guna menjaga kinerja produk reksadana pendapatan tetap, Reza menyebut perusahaan melakukan diversifikasi portofolio dengan mengkombinasikan obligasi pemerintah dan korporasi. Selain itu, memilih obligasi dengan durasi yang lebih pendek bisa membantu mengurangi risiko penurunan harga obligasi akibat kenaikan
yield. Baca Juga: Yield SUN Acuan 10 Tahun Kembali Naik, Begini Prospek Reksadana Pendapatan Tetap Sementara STAR AM berupaya dengan memperpanjang durasi obligasi dalam portofolio untuk mengambil keuntungan dari potensi kenaikan harga obligasi dan meningkatkan alokasi pada obligasi dengan yield yang menarik, terutama pada obligasi korporasi yang memberikan imbal hasil lebih tinggi namun tetap memperhatikan kualitas kredit. "Selain itu juga mempertahankan tingkat likuiditas pada level yang optimal untuk mengantisipasi
net redemption, sehingga tidak mengganggu performa dari Fund," tutup Hanif. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari