Proyek EBT tak semua masuk RUPTL, bagaimana nasib energi bersih ini?



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Rencana Usaha Penyediaan tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tahun 2019-2028 telah diterbitkan. Melalui Keputusan Menteri Nomor 39 K/20/MEM/2019, Menteri ESDM Ignatius Jonan telah mengesahkan RUPTL tersebut pada 20 Februari 2019.

Jonan mengatakan, sebagai strategi untuk mengakselerasi pembangkit Energi Baru dan Terbarukan (EBT), pembangkit listrik dari EBT diluar yang tercantum dalam RUPTL 2019-2028 dapat dilakukan dan tidak perlu menunggu perubahan RUPTL. Syaratnya, selama secara sistem ketenagalistrikan memungkinkan dan wajib dicantumkan di RUPTL berikutnya.

Jonan mengklaim, hal itu adalah salah satu cara pemerintah mendorong para investor meningkatkan inisiatif dalam pengajuan pembangkit EBT sehingga bisa masuk sistem jaringan kelistrikan. Harapannya, akan berdampak pada penghematan waktu hingga satu tahun.


"Jadi diajukan ke PLN, prosesnya sama tapi tidak perlu dimasukkan ke RUPTL. Nanti kalau PLN setuju, akan dicantumkan ke RUPTL tahun depannya, jadi ini kan sudah bisa hemat (waktu) setahun. Jadi diproses dulu tahun ini masuk RUPTL-nya tahun depan," jelas Jonan.

Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Institute for essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, strategi ini tidak akan cukup signifikan untuk mengakselerasi pembangkit EBT. Pasalnya, dibutuhkan sejumlah prasyarat supaya porsi pembangkit energi bersih ini bisa mengalami percepatan.

Pertama, perencanaan pembangkit EBT akan sangat dipengaruhi oleh sejauh mana PLN menghitung permintaan dan merencanakan pembangunan jaringan listrik. Sedangkan di sisi lain, perencanaan jaringan PLN akan memperhitungkan pembangkit yang akan dibangun.

Dalam hal ini, Fabby menilai bahwa kebijakan ini justru berpotensi untuk membingungkan stakeholder ketenagalistrikan. "Listrik harus disalurkan, sekarang misalnya permintaan ada tapi jaringan nggak ada, kan nggak bisa. Jaringan yang merencanakan PLN, kenapa dibangun sekian, karena tahu ada pembangkit di sana. Nah, sekarang kalau nggak ada di dalam RUPTL bagaimana?" terang Fabby belum lama ini.

Kedua, untuk mengakselerasi pembangkit EBT, target, kebijakan dan implementasinya mesti merefleksikan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Fabby menilai, target penambahan pembangkit EBT pada RUPTL kali ini yang dipatok sebesar 16,7 Gigawatt (GW) masih di bawah aspirasi RUEN.

Ia memperhitungkan, dengan tambahan target itu, maka rata-rata pembangunan per tahun hanya 1,5 GW hingga 1,8 GW. Padahal, jika merujuk pada target RUEN, pembangunan EBT semestinya bisa sebesar 4 GW-5 GW per tahun, dimulai pada tahun 2019 ini. "Jadi seharusnya RUPTL mengakomodasi lebih banyak energi terbaruan dan mengurangi pembangkit PLTU batubara," katanya.

Fabby mengatakan, pemerintah bisa saja mengubah model RUPTL untuk tambahan pembangkit EBT yang dibuat dalam rentang (range) tertentu sesuai dengan perkembangan permintaan dan biaya investasi.

"Jadi minimum berapa sesuai target RUEN. Nanti kalau terlihat keekonomian reneweble lebih murah karena harga teknologi turun lebih cepat, itu bisa dimasukan lebih banyak, dengan memastikan jaringan tersedia," terangnya.

Ketiga, lanjut Fabby, supaya strategi ini tidak membingungkan, maka harus diperinci lagi mengenai kapasitas pembangkit EBT, dan di daerah mana lokasi pembangunannya. "Kita bicara EBT skala berapa,kalau 20 MW di sistem Kalimantan, atau 20-30 MW di NTT dan NTB, itu besar. Kalau di Jawa kan nggak," ujarnya.

Keempat, Fabby melihat bahwa bauran EBT dalam ketenagalistrikan bisa signifikan jika pemerintah agresif mendorong pembangkit terdistribusi. Fabby mengatakan, hal ini bisa didorong melalui Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. "Menurut kajian kami ada 3-4 juta rumah di Jawa-Bali yang potensi. Estimasi kami, itu bisa sampai 12 GW-15 GW sampai tahun 2030," jelasnya. Implementasi Regulasi Sementara itu, Asosiasi Produsen Listrik Seluruh Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang melihat strategi dan target pemerintah untuk mendorong tambahan pembangkit EBT ini sebagai peluang. Namun, Arthur menyebut bahwa itu harus dibarengi dengan regulasi dan pengimplementasian yang menarik minat investor. "Menarik dari sisi opportunity, cuman harus ditranslet ke implementasi regulasi yang sinkron," katanya kepada Kontan.co.id, pekan lalu.

Arthur mengatakan, salah satu yang dinilai menghambat pengembangan pembangkit EBT dari sisi swasta adalah skema penyerahan aset ketika kontrak berakhir atau build, own, operate, and transfer (BOOT). Sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 50 Tahun 2017.

Arthur bilang, hal itu berimplikasi pada investasi atau pendanaan dari proyek EBT. "Kita contohkan yang BOOT itu, terus terang dari sisi kepemilikan orang melihatnya setelah 20 tahun apa? Jadi dari sisi regulasi masih perlu kita lihat," ujarnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Asosiasi Perusahaan Pengembang Listrik Tenaga Air (APPLTA) Riza Husni. Menurutnya, strategi seperti apapun tidak akan memberikan dampak signifikan jika tidak didorong oleh regulasi yang kondusif bagi investasi.

"Kebijakan tanpa (perencanaan di dalam)RUPTL jika tidak ditindak lanjuti aturan yang ramah dan logis tentunya tidak berdampak akselerasi," kata Riza saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (24/2).

Riza malah berharap, mandegnya pengembangan pembangkit EBT selama dua tahun terakhir ini bisa terurai dengan ditunjuknya Direktur Jenderal Ketenagalistrikan yang baru, yakni Rida Mulyana. Seperti diketahui, Rida sebelumnya menjabat sebagai Direktur Jenderal EBTKE. "Pak Rida sudah paham permasalahan di energi terbarukan. Ini lah yang kita harapkan bisa mendorong percepatan ET di sektor kelistrikan," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini