Proyek energi baru terbarukan (EBT) berpotensi menekan keuangan negara



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana pemerintah mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) dan mencapai target bauran 23% pada 2025 mendatang diharapkan jangan menekan keuangan negara. Pemerintah diminta memprioritaskan kepentingan nasional dalam menjalankan strategi transisi energi. 

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra El Talattov menyatakan, transisi ke energi bersih memang perlu didukung karena ini sudah menjadi komitmen global. Tapi pelaksanaannya, pemerintah harus tetap mempertimbangkan kondisi pasokan listrik yang sedang berlebih. 

"Kita semua pasti memiliki dukungan ke arah transisi energi, Tapi kita juga harus objektif melihat secara utuh, seperti apa kondisi faktual, dalam konteks dinamika energi di Indonesia," ujar Abra dalam diskusi virtual, Rabu (29/9)


Saat ini daya mampu listrik PLN mencapai 57 gigawatt (GW), dengan beban puncak 39 GW, sehingga ada cadangan berlebih hingga 18 GW. Kapasitas listrik akan semakin bertambah seiring dengan beroperasinya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dalam proyek 35.000 megawatt.

"Ini kemudian jadi pertanyaan, dari sisi EBT dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) ketika EBT baru jadi sekitar 52% dari awalnya 31%. Nah kalau EBT mau di-push, bagaimana dari fosil?" terang Abra.

Untuk itu, Abra mengingatkan agar pemerintah memperhatikan aspek supply dan demand terlebih dahulu sebelum melakukan penambahan pembangkit berbasis EBT. Penambahan pembangkit EBT yang dipaksakan bakal membuat APBN jebol karena listrik berbasis EBT dikenakan skema Feed in Tariff. 

Baca Juga: Negara Asia Timur tinggalkan batubara, jadi lecutan bagi Indonesia kembangkan EBT

"Perlu dilihat juga risiko BUMN kita ataupun APBN. Kalau kita lihat beberapa tahun terakhir, subsidi energi tumbuh per tahun 8,6 persen subsidi energi. Tahun depan subsidi energi mencapai Rp134 triliun, belum lagi bicara kompensasi, itu menjadi konsekuensi dari komitmen pemerintah untuk menyediakan energi murah, yang merata, tetapi juga komitmen yang sifatnya hijau," imbuhnya.

Abra mengingatkan, pemerintah sebaiknya tidak hanya fokus pada aspek keberlanjutan, tetapi juga berkeadilan. Pemenuhan energi, perlu memperhatikan kepentingan nasional, ketahanan APBN dan menjamin ketersediaan energi untuk generasi mendatang. 

Menurutnya, jangan sampai timbul beban baru terlebih saat ini Indonesia belum selevel dengan negara-negara lain. Di sisi global, bauran EBT global pun baru mencapai 12%. Abra juga mengingatkan, negara-negara maju seperti Inggris, Amerika dan Eropa yang selama ini gencar mengkampanyekan EBT pun, saat ini kembali menggunakan PLTU batu bara di tengah krisis energi.

Ada dinamika eksternal yang memaksa negara-negara tersebut realistis. Kepentingan nasional lebih penting sehingga komitmen EBT dinomorduakan. Karena ini berhubungan dengan ketahanan energi. Begitu juga di China.

"Indonesia mumpung masih proses awal, jangan sampai terjerumus lebih dalam. Kita harus mempersiapkan diri, analoginya pendapatan perkapita kita belum selevel negara maju, tetapi kita ingin merasa tampilan sama seperti negara-negara maju," pungkas Abra.

Selanjutnya: Investasi pembangkit tenaga nuklir dapat gagalkan tercapainya target perubahan iklim

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .