Proyek MRT terganjal pembebasan lahan



JAKARTA. Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan kemarin, Rabu (27/4) membebaskan empat dari lima bidang lahan yang rencananya akan menjadi depo Stasiun Lebak Bulus mass rapid transit (MRT).

Pembebasan lahan memang selama ini menjadi penghambat terbesar dari pengerjaan proyek MRT. Struktur bawah tanah yang tidak memerlukan pembebasan lahan, kini sudah mencapai 68,02% pengerjaannya.

Sementara struktur layang yang butuh banyak pengadaan lahan baru mencapai 33,81 persen. Struktur layang membentang dari Lebak Bulus hingga Blok M dan akan menghasilkan tujuh stasiun yaitu Lebak Bulus (depo), Fatmawati, Cipete Raya, Haji Nawi, Blok A, Blok M, dan Sisingamangaraja.


Direktur Utama PT MRT Jakarta Dono Boestami menceritakan bahwa ketika perusahaan BUMD yang dibawahinya dibentuk pada 2013, ia mengira proyek akan selesai pada 2016, mengingat Pemprov DKI Jakarta akan melaksanakan tugasnya membebaskan lahan untuk keperluan konstruksi.

"Berdirinya MRT ini prematur. Persiapan awal sebelum start harusnya kan dua sampai tiga tahun, paling cepat satu tahun, termasuk urusan utilitas seperti membebaskan lahan," ujarnya.

Dan benar saja, PT MRT Jakarta masih harus mengurusi pembebasan lahan yang seharusnya sudah selesai sebelum proyek dimulai pada 2014. Pemasangan girder box di Lebak Bulus pun terpaksa molor karena menunggu lahan milik warga dibebaskan. Pemkot Jakarta Selatan akhirnya menawarkan sistem pinjam pakai agar lahan dapat dibebaskan secepatnya.

Sebab jika tidak, PT MRT Jakarta harus membayar denda keterlambatan kepada kontraktor yang menggarap. Kesulitan pembebasan lahan milik warga sendiri menurut Dono bukan terkendala pada anggaran.

Menurut Direktur Konstruksi M Nasyir, pembebasan lahan mandek karena ada dispute di tubuh pemerintah. Pada 2014, anggaran pembebasan lahan diajukan oleh dua instansi yaitu Dinas Bina Marga dan Dinas Perhubungan.

Bina Marga mengajukan Rp 220 miliar untuk pembebasan lahan seluas 7.137 meter persegi (97 bidang tanah) dengan alokasi Rp 50 miliar di APBD 2016. Sisanya, Rp 170 miliar, akan dialokasikan pada APBD Perubahan 2016. Sedangkan Dishubtrans yang belum mengalokasikan anggaran di 2016, akan menganggarkan di APBD Perubahan 2016 sebesar Rp 30 miliar.

Panitia Pengadaan Tanah (P2T) menjadi tanggung jawab Pemkot Jakarta Selatan. Namun pengadaan lahan sempat terhenti karena P2T ngotot membayar lahan warga dengan NJOP.

Belakangan, P2T diganti dengan melibatkan Badan Pertanahan Negara (BPN). Pembebasan lahan pun dilanjutkan dengan sistem pinjam pakai menggunakan harga appraisal yang disebut dua kali lebih tinggi dari NJOP.

"Tahun ini harusnya depo Lebak Bulus selesai. Meleset dikit. Alhamdulillah warga bersedia dibayar belakangan menunggu APBD Perubahan," ujar Nasyir.

Adapun sekitar 1% lahan dari fase I Lebak Bulus - Bundaran HI belum dibebaskan. Meski besarannya kurang dari 1000 meter, pembebasan tujuh bidang milik warga di Cipete menyeret Pemprov DKI Jakarta ke meja hijau karena nilai ganti rugi yang belum disepakati.

"Ini harus sampai berdarah-darah. Kalau tidak bebas ya keretanya enggak jalan-jalan," kata Nasyir.

Sembari menunggu fase I yang diperkirakan akan siap beroperasi pada 2019, fase II (Bundaran HI - Ancol) yang saat ini akan memasuki persiapan, diharapkan tidak mengalami kendala yang sama dengan fase I. Pemerintah diharapkan sudah mulai membebaskan lahan untuk fase II mumpung PT MRT Jakarta baru mulai menunjuk konsultan. (Nibras Nada Nailufar)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia