KONTAN.CO.ID - JAKARTA.
Chief Executive Officer (CEO) Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai target pemerintah untuk mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) melalui Peraturan Presiden (Perpres) terkait program
waste to energy (WtE) perlu didukung dengan jaminan ketersediaan sampah di dalam negeri. "Saya melihat proyek ini cukup kompleks, risikonya tinggi. Paling tidak, itu ada tiga hal yang bisa
make it or break it," ungkap Fabby dalam agenda CEO Connect yang merupakan bagian dari rangkaian 16th Kompas100 CEO Forum 2025, dikutip Kamis (23/10/2025). Ketersediaan volume sampah dengan karakteristik tertentu menurut Fabby, sangat penting untuk keberlangsungan PLTSa kedepan.
"Jadi kalau kita milih insinerator (teknologi PLTSa), itu memang yang paling minimum, seribu (ton per hari), untuk menghasilkan listriknya
between 10-15 MW," ungkap Fabby.
Baca Juga: Targetkan Pembangunan PLTSa, Pemda Diminta Jamin Pasokan Sampah Selama 30 Tahun Bahkan menurutnya, dalam beberapa projek insinerator dibutuhkan setidaknya 1.000 - 1.400 ton sampah per hari. "Dan ini juga tergantung pada
value dari sampahnya. Idealnya
between seribu dan seribu empat ratus, kalau saya lihat beberapa
project incenerator," tambah dia. Dalam perhitungan IESR, Fabby bilang 70% sampah di Indonesia adalah organik, sisanya non-organik. "Jadi yang tadi saya katakan ada
weighting value. Nah ini perlu hati-hati melihat parameternya, karena kalau buat PLN yang akan diperhatikan, past butuh listrik yang konstan," kata dia. Fabby juga menekankan kemampuan Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai penyedia bahan baku PLTSa. Menurutnya Perpres Sampah memang mempermudah pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) karena
feedstock yang sudah disediakan selama 30 tahun. "Nah dan ini kemampuan
tender itu sangat bergantung pada kemampuan mereka mengumpulkan sampah," ungkapnya.
Baca Juga: Kementerian ESDM Ungkap Penggunaan Insinerator pada PLTSa Sudah Diatur di Perpres Menurutnya rata-rata di Indonesia,
waste collection atau pengumpulan sampah di Indonesia untuk setiap daerah paling tinggi mencapai 35%. "Artinya memang 65% belum di
-collect. Kenapa? Karena keterbatasan kemampuan Pemda untuk mengangkut sampah. Armadanya terbatas, orangnya terbatas, dan ini terjadi karena anggaran sampahnya minim," ungkap dia. Dengan penghilangan
tipping fee atau biaya yang dibayarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) kepada pihak pengolahan sampah dalam Perpres yang baru, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menurut dia perlu memperhatiakan biaya pengumpulan sampah dari daerah-daerah yang dibidik untuk dilelang. "Dulu dengan Perpes lama, persoalannya
tiping fee. Tarif listrik maksimum 13 sen. Di banyak kabupaten kota, anggaran untuk sampah itu minim sekali. Yang paling gede mungkin hari ini, cuma kota DKI Jakarta dan Surabaya," ungkapnya. Meski begitu, Fabby setuju bahwa proyek ini adalah proyek yang baik terutama untuk lingkungan, namun permasalahan bahan baku harus segera diselesaikan dengan melihat kemampuan masing-masing Pemda untuk memberikan fasilitas kepada IPP yang akan membangun PLTSa. "Jadi ini adalah proyek yang bagus, tapi kalau kita lihat, risikonya masih banyak, dan perlu diselesaikan. Tentunya ini yang harus sekali lagi, melibatkan banyak pihak, nanti untuk menyelesaikan masalah ini," jelasnya.
Baca Juga: Kementerian ESDM Jabarkan 15 Proyek PLTSa, 2 Masuk Tahap Persiapan Lelang Sebagai informasi, Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara telah mengumumkan akan membuka lelang proyek pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) pada awal November 2025.
Chief Executive Officer (CEO) Danantara Rosan Perkasa Roeslani memastikan proses lelang pembangkit sampah itu bakal dikerjakan dengan transparan dan akuntabel. “Kami akan meluncurkan program ini awal November, kami akan menjalankan proses lelang yang terbuka dan transparan,” kata Rosan dalam Indonesia International Sustainability Forum (ISF) di Jakarta Convention Center, Jumat (10/10/2025).
Rosan juga menyebut, pihaknya menargetkan seluruh proyek yang ditawarkan kepada pengembang swasta bisa mulai beroperasi komersial atau
commercial operation date (COD) pada 202
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News