Proyek Smelter dan Pengembangan EV Memoles Prospek Vale Indonesia (INCO)



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nikel diprediksi memiliki prospek yang cemerlang sebagai komoditas strategis dalam era kendaraan listrik alias electric vehicle (EV). Sejumlah analis menilai PT Vale Indonesia Tbk (INCO) bisa terpapar sentimen positif, sejalan dengan proyek hilirisasi yang sedang gencar digarap.

Analis Samuel Sekuritas Indonesia Olivia Laura Anggita dalam risetnya pada 22 September 2022 menyoroti bahwa sektor komoditas menjadi salah satu sektor yang cukup tangguh di tengah era inflasi dan kenaikan suku bunga saat ini. Meski, Olivia menaruh outlook netral terhadap sektor pertambangan logam nikel. 

Perkiraan harga nikel pada tahun ini memang masih berada di level yang tinggi, yakni US$ 23.600 per ton dan US$ 23.000 per ton untuk tahun depan. Lebih tinggi dari rata-rata lima tahun terakhir di sekitar US$ 16.000 per ton.


Baca Juga: Saham-Saham yang Diramal Tangguh Hadapi Inflasi dan Bunga Tinggi

Kondisi harga tersebut didorong oleh keterbatasan suplai akibat sanksi Rusia. Menimbang hal itu, Olivia menilai ada risiko penurunan harga jika suplai dari Rusia kembali masuk ke pasar. 

Apalagi, jika Indonesia kembali mengekspor bijih nikel, apabila kalah dari Uni Eropa dalam sengketa terkait larangan ekspor bijih nikel. "Namun, kami masih cukup optimis dengan prospek perusahaan pertambangan nikel, karena masih yakin permintaan akan naik di masa depan," kata Olivia.

Adapun, industri stainless steel diperkirakan masih akan menjadi pendorong utama permintaan nikel untuk beberapa waktu ke depan. Industri lain yang berpotensi mendongkrak permintaan nikel adalah bateri EV. 

Indonesia pun gencar membangun ekosistem industri baterai EV, seiring dengan maraknya proyek hilirisasi pertambangan. Sejalan dengan itu, INCO rajin ekspansi dengan menggarap tiga proyek smelter.

Baca Juga: Pilih-Pilih Saham Menarik di Tengah Ancaman Resesi

Pertama, smelter dengan teknologi Rotary Klin and Electric Furnance (RKEF) di Bahodopi yang digarap bersama dengan Taiyuan Iron & Steel Group Co. Ltd. (Tisco) dan Shandong Xinhai Technology Co. Ltd. (Xinhai). Investasi proyek ini sekitar US$ 2,1 miliar dengan proyeksi kapasitas produksi 73 - 80 kilo ton per annum (ktpa).

Kedua, smelter dengan High-Pressure Acid Leaching (HPAL) di Sorowako bersama Zhejiang Huayou Cobalt Company Limited (Huayou). Total kapasitas produksi ditargetkan 60 ktpa nikel dalam Mix Hydroxide Precipitate (MHP).

Ketiga, smelter HPAL di Pomalaa bersama dengan Huayou dan Ford Motor. Investasi untuk proyek ini sekitar US$ 2 miliar - US$ 2,5 miliar dengan total kapasitas hingga 120 ktpa nikel dalam Mix Sulphide Precipitate (MSP).

Ketiga proyek tersebut ditargetkan mulai beroperasi pada tahun 2025-2026. Jika diasumsikan smelter-smelter baru INCO beroperasi penuh pada tahun 2025, maka INCO dapat mencatatkan volume produksi hingga 191.000 metrik ton.

Jumlah itu diperkirakan lebih dari dua kali lipat volume produksi pada tahun 2024. Adapun Olivia memperkirakan proyeksi produksi INCO akan moderat pada tahun 2023-2024, yakni di sekitar 68.000 metrik ton sebagai proyeksi di 2023 dan 71.000 metrik ton di 2024.

Baca Juga: Harga Komoditas Masih Akan Solid, Simak Rekomendasi Saham Emiten Tambang Logam Ini

Sentimen Harga Nikel

Equity Research Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia, Rizky Khaerunnisa turut memandang megaproyek smelter yang sedang digarap akan menjadi katalis positif bagi kinerja INCO. Selain itu, prospek INCO juga bisa terpoles dari rencana strategis untuk menggunakan energi baru terbarukan.

Sebagai informasi, INCO bersama Tisco dan Shandong Xinhai Technology membentuk konsorsium untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) dengan kapasitas 500 megawatt (MW). PLTG ini akan dipakai untuk mengalirkan listrik proyek smelter di Bahodopi, Sulawesi Tengah.

Rizky juga menyoroti pergerakan porisit harga nikel saat ini. Proyeksinya, harga nikel masih bisa naik di level US$ 25.000 - US$ 30.000 sampai akhir tahun 2022. "Efeknya untuk INCO saling berkorelasi positif," ujar Rizky kepada Kontan.co.id, Selasa (4/10).

Sementra itu, Analis NH Korindo Sekuritas Indonesia Arief Machrus memberikan catatan, tensi geopolitik bisa menjadi sentimen negatif pergerakan harga komoditas.  Setelah konflik Rusia - Ukraina, tensi geopolitik lainnya bisa kembali tinggi, misalnya antara China-Taiwan. 

Baca Juga: MIND ID Dukung Penuh Program Membentuk Ekosistem EV Baterai

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran berkurangnya permintaan, sehingga membuat produsen mengontrol jumlah produksi di tengah inflasi yang tinggi. Namun, transformasi energi terbarukan dan pengembangan EV akan menjadi dasar fundamental tingginya permintaan nikel dalam jangka panjang.

Kinerja keuangan emiten nikel seperti INCO pun tetap berpeluang tumbuh lantaran didorong kenaikan harga jual rata-rata alias average selling price (ASP). Asal tahu saja, kinerja INCO pada semester pertama menanjak terdorong kenaikan ASP nikel sebesar 54,6% menjadi US$ 20.899 per ton.

Dalam periode enam bulan 2022, INCO berhasil membukukan pendapatan senilai US$ 564,53 juta, naik 36,05% dari realisasi periode yang sama tahun lalu. Dari sisi bottom line, INCO membukukan laba bersih US$ 150,45 juta atau melesat 155,93%.

Pada tahun ini, Arief memperkirakan INCO bisa meraih laba bersih sebesar US$ 260 juta atau naik hampir 60% secara tahunan. Sementara pendapatan ditaksir tumbuh dari US$ 953 juta menjadi US$ 1,09 miliar seiring kenaikan ASP.

Baca Juga: Gandeng Investor Strategis, Vale Indonesia (INCO) Bangun PLTG Berkapasitas 500 MW

Dengan estimasi tersebut, Arief merekomendasikan buy saham INCO dengan target harga di posisi Rp 8.200 mencerminkan EV/EBITDA 8.1x. Rekomendasi ini juga memperhitungkan kemampuan INCO meningkatkan produksi dengan tetap menjaga fuel cost yang relatif rendah.

Dalam hal ini, Analis Astronacci International Gema Goeyardi menilai manajemen INCO akan berhati-hati dalam mengontrol pengeluaran untuk menjaga ketersediaan kas. Menurut Gema, INCO akan fokus pada berbagai inisiatif produktivitas dan penghematan biaya.

Langkah tersebut dinilai perlu untuk menjaga daya saing perusahaan dalam jangka panjang. Untuk saham INCO, Gema menyarankan buy dengan target harga di Rp 7.400.

Sementara itu, Olivia mempertahankan rekomendasi buy untuk saham INCO dengan target harga di Rp 8.000. Senada, Rizky juga menyematkan rekomendasi buy INCO untuk target harga di area Rp 7.500.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati