KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Persoalan pendanaan masih mengintai pemilik proyek fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral. Presiden Joko Widodo mengatakan, kerap mendapat keluhan sulitnya pendanaan smelter. Padahal, pemerintah tengah fokus melakukan hilirisasi terhadap berbagai sumber daya alam. Itulah sebabnya, ia menekankan pentingnya keberadaan dukungan fasilitas hilirisasi. "Tadi sudah disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner OJK mengenai hilirisasi, memberikan dukungan, saya minta betul-betul yang konkret karena masih saya dengar yang mau bikin smelter saja kesulitan mencari pendanaan," kata Jokowi dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan (PTIJK) 2023 di Jakarta, Senin (6/2).
Baca Juga: Presiden Jokowi Harapkan Dukungan Program Hilirisasi, Begini Tanggapan OJK Tantangan pendanaan eksternal dalam pengembangan smelter juga dibenarkan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey. Hanya saja, ia tidak merinci mana saja daftar proyek smelter nikel yang mengalami kesulitan pendanaan maupun. “Iya, (pendanaan eksternal untuk proyek smelter nikel lebih sulit didapat belakangan ini),” kata Meidy saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (8/2). PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR), anak usaha dari PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) juga dikabarkan kesulitan menggalang dana pinjaman bank untuk membiayai proyek smelter aluminium perusahaan lantaran kampanye negatif dari kelompok lingkungan yang mendera perusahaan. Seperti diketahui, Adaro sedang mengawal proyek pengembangan smelter aluminium berkapasitas 500.000 ton per tahun di kawasan industri PT Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI), Kalimantan Utara. Nilai investasi keseluruhan dari proyek tersebut, termasuk pembangkit listrik, mencapai US$ 2 miliar pada tahap pertama. Menanggapi rumor tersebut, Head of Corporate Communication Adaro Energy Indonesia Febriati Nadira mengatakan, ADRO sudah mendapatkan komitmen dari beberapa bank, dan sedang tahap final untuk financial closure. “Kami menargetkan untuk pencapaian financial closure pada semester 1 tahun ini,” ujarnya saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (8/2). Sementara itu, pihak PT Vale Indonesia Tbk (INCO) tidak ambil pusing soal kendala pendanaan eksternal. Seperti diketahui, Vale Indonesia saat ini tengah mengawal sejumlah proyek smelter anyar. Proyek tersebut di antaranya proyek smelter berteknologi rotary kiln-electric furnace (RKEF) dengan rencana kapasitas 73.000 hingga 80.000 metrik ton nikel per tahun di Bahodopi, dan proyek smelter berteknolodi High-Pressure Acid Leach (HPAL) dengan kapasitas produksi tahunan 120.000 ton nikel dalam bentuk Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) di Pomalaa. Direktur Keuangan PT Vale Indonesia Tbk Bernardus Irmanto mengatakan, aspek risiko investasi menjadi salah aspek penting yang menjadi pertimbangan perbankan dalam memberi pinjaman. “Elemen lain adalah ESG. Banyak bank saat ini tidak mau mendanai proyek yang menggunakan batu bara sebagai sumber energi. Bagi PTVI (PT Vale Indonesia) ini bukan masalah karena dari awal kami sudah menyatakan tidak menggunakan batu bara,” kata Bernardus saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (8/2).
Baca Juga: Ketua Komisioner OJK Mahendra Siregar: Ini Tiga Prioritas Kebijakan OJK di Tahun 2023 DI luar persoalan dana, kendala-kendala lain juga masih membayangi pemilik proyek smelter. Salah seorang pengurus Indonesia Marketing Association (IMA) mengatakan, sejauh ini anggota IMA tidak mengalami kendala dalam menghimpun pendanaan eksternal proyek smelter. Namun, sumber yang menolak disebutkan namanya tersebut mengakui, anggotanya juga menjumpai persoalan lain dalam merampungkan proyek smelter. Kendala yang dimaksud antara lain efek gulir pagebluk Covid-19 yang menghambat penyelesaian proyek smelter, serta persoalan perlambatan rantai pasok peralatan dan bahan baku akibat Perang Rusia dan Ukraina. “Anggota IMA tidak ada masalah pendanaan,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (8/2). Catatan saja, sejumlah anggota IMA, antara lain PT Freeport Indonesia (PTFI) dan Amman Mineral, memang tengah mengawal proyek pembangunan smelter. PTFI tengah melakukan pembangunan smelter pengolahan konsentrat tembaga dengan kapasitas input 1,7 dry metric ton (dmt) di Java Integrated and Industrial Port Estate (JIIPE) Gresik, Jawa Timur. Proyek tersebut dinamakan Smelter Manyar. Selain itu, PTFI juga berencana mendanai ekspansi tambahan kapasitas 0,3 juta dmt pada smelter tembaga milik perusahaan patungan antara PTFI dan Mitsubishi Materials Corporation (MMC), yakni PT Smelting. Sementara itu, menurut catatan Kontan.co.id (13/10), proyek smelter tembaga Amman Mineral yang berlokasi di Benete, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) sudah mencapai 47% per Oktober 2022 lalu dan diproyeksikan akan beroperasi di akhir 2024 mendatang. Nantinya, smelter tersebut bakal memiliki kapasitas input sebesar 900.000 ton per tahun. Menurut proyeksi, kedua proyek tersebut diperkirakan belum akan rampung saat larangan ekspor konsentrat tembaga diberlakukan pada pertengahan tahun ini. Penyelesaian proyek yang terhambat kondisi pandemi menjadi biang keroknya. EVP External Affairs PTFI, Agung Laksamana mengatakan kemajuan pembangunan smelter Manyar PTFI hingga akhir Januari 2023 mencapai 54% dari rencana 52,9%, dengan nilai investasi sebesar US$ 1,78 miliar atau sekitar Rp 27 triliun)dari total rencana investasi sebesar US$ 3 miliar atau sekitar Rp 45 triliun.
Baca Juga: Ini Sektor yang Bank Mandiri Incar untuk Dibiayai pada Tahun 2023 Target PTFI, konstruksi substansial proyek tersebut bisa selesai di akhir Desember 2023, lalu dilanjutkan dengan pre-commissioning dan commissioning hingga akhir Mei 2024. “Smelter akan mulai beroperasi pada akhir Mei 2024, dengan ramp-up operasi untuk mencapai produksi penuh pada akhir tahun 2024. Penyelesaian pembangunan smelter Manyar mengikuti target linimasa Kurva-S yang telah disetujui Pemerintah,” kata Agung kepada Kontan.co.id, Rabu (8/2). Sementara itu, PT Amman Mineral (AMMAN), berdasarkan wawancara Kontan.co.id 16 Januari 2023 lalu, menargetkan proyek smelter di Sumbawa Barat rampung pada akhir tahun 2024 mendatang. Presiden Direktur PT Amman Mineral Nusa Tenggara Rachmat Makkasau mengungkapkan, pihaknya siap mendukung rencana hilirisasi oleh pemerintah. Untuk itu, proyek smelter pun ditargetkan dapat rampung sesegera mungkin. “"Kendala pandemi Covid-19 dan krisis energi di Eropa, yang merupakan faktor eksternal, menyebabkan target penyelesaian smelter di tahun 2023 tidak akan dapat terlaksana," jelas Rachmat, Senin (16/1). Dalam konferensi pers Selasa (31/1), Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan, pandemi Covid-19 turut berdampak pada penyelesaian proyek smelter. Untuk itu, pemerintah akan mengevaluasi kendala-kendala yang dialami dalam pengerjaan proyek, sekaligus mengidentifikasi apakah kendala yang dialami berkaitan dengan situasi pandemi Covid-19 atau tidak. Pemerintah sendiri belum menentukan kebijakan seperti apa persisnya yang akan diambil terhadap proyek-proyek smelter yang belum rampung pada Juni 2023 mendatang dalam konpers pekan lalu.
“Yang soal kebijakan sifatnya, kita tunggu dulu ya keputusan para pimpinan. Karena kalau yang sifatnya tidak ada hal-hal luar biasa seperti tidak ada Covid dan lain-lain itu tidak terlalu sulit kita untuk menerapkan regulasi yang ada. Ini memang ada kondisi luar biasa yang menjadi perhatian, nanti kita tunggu kebijakan umumnya, baru nanti teknisnya kami terapkan,” ujar Ridwan. Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto menilai, pemerintah perlu mengambil sikap tegas dalam menindak proyek smelter yang terlambat penyelesaiannya. “Kalau pemerintah lemah, sebaiknya kita tunggu pemerintahan baru saja, karena marwah undang-undang hancur,” kata Mulyanto saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (8/2). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi