Proyek smelter Harita makin tidak jelas



JAKARTA. Harita Group melalui anak usahanya, PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (WHW), menyatakan pengoperasional smelter alumina yang semula ditargetkan Oktober 2015 molor. Sejumlah kendala membuat operasional smelter alumina pertama di Indonesia ini baru bisa kelar Februari atau Maret 2016.

Chief Executive Officer (CE) Harita Group Ery Sofyan mengklaim, proses pengerjaan pembangunan smelter alumina tahap I, sudah mencapai 70%. Semula pihaknya menargetkan pembangunan sudah selesai dan ditargetkan beroperasi Oktober 2015.

"Tapi realisasinya ternyata molor jadi Februari atau Maret 2016," kata Ery yang juga Ketua Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) saat dihubungi KONTAN, Selasa (29/9).


Sejumlah kendala yang membuat pembangunan smelter molor menurut Ery, diantaranya adalah adanya tarik ulur dalam proses perizinan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah Kalimantan. Selain itu, lahan gambut yang akan dijadikan areal pembangunan harus dibersihkan dulu gambutnya sehingga tak bisa langsung digunakan.

Tak hanya itu, "Kami terpaksa melakukan pengerukan laut di lokasi pembangunan pelabuhan karena terlalu dangkal," ujar Ery.

Adapun kapasitas produksi smelter pasca tahap I rampung mencapai 1 juta ton pertahun. Pembangunan smelter ini memiliki 4 tahap dengan target akhir kapasitas produksi mencapai 4 juta ton pertahun. "Target akhir ini diharapkan tercapai pada tahun 2021 mendatang," jelas Ery.

Nilai investasi yang dikucurkan untuk proyek smelter alumina secara keseluruhan 4 tahap US$ 2,2 miliar. Sementara khusus untuk tahap I mencapai US$ 900 juta, mencakup pembangunan power plant serta pelabuhan. "Ditambah biaya jasa keamanan untuk aparat karena keamanan selama proses pengerjaan smelter ini harus benar-benar terjamin," pungkas Ery.

Agar proyek ini bisa maksimal, Harita Group sudah mengajukan diskon pajak atawa tax holiday. Namun hingga kini belum juga dikabulkan oleh pemerintah.

Di sisi lain, saat ini perusahaan ini tetap belum bisa melakukan ekspor. Walhasil perusahaan ini tak bisa berbuat banyak untuk mempercepat pembangunan smelter.

Dengan kondisi ini Ery kembali berharap pemerintah membuka keran ekspor konsentrat bauksit agar bisa membantu pengusaha bauksit. Di sisi lain ekspor ini bisa menambah pasokan devisa.

"Jika mengizinkan ekspor bauksit 40 juta-50 juta ton per tahun, dengan harga US$ 40 per ton, devisa yang masuk US$ 1,6 miliar–US$ 2 miliar, serta pajak dan royalti sebesar US$ 480 Juta," imbuh Ery.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Havid Vebri