KONTAN.CO.ID - JAKARTA. CEO PT Vale Indonesia Tbk (INCO), Febriany Eddy mengungkapkan, proses negosiasi proyek smelter nikel di Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah sempat melewati masa perudingan yang alot (selama 9 bulan) dengan pihak partner dari Tiongkok. Pasalnya, pihak Vale Indonesia bersikukuh untuk mengaliri sumber daya energi ke smelter menggunakan gas alam cair (LNG). "Proses negosiasi alot hingga 9 bulan, panjang sekali, karena dari sisi partner tidak paham. Secara aturan memang tidak ada yang memaksa Vale Indonesia untuk beralih dari batubara ke LNG. Padahal penggunaan LNG bisa menurunkan net present value project sampai US$ 230 juta," jelasnya dalam acara forum berkelanjutan 2022 yang disaksikan secara virtual pada Selasa (22/3). Febriany menegaskan bahwa penggunaan LNG ini dilakukan semata-mata karena pilihan bukan paksaan. Toh di satu sisi, Vale Indonesia juga tetap mengantongi keuntungan. Febriany bilang, pihaknya tidak mengukur keberhasilan hanya dari keuntungan materi semata, tetapi juga menimbang faktor manusia dan planet yang harus dijaga.
Proyek Smelter Nikel INCO di Bahodopi Sempat Hadapi Negosiasi Alot dengan Partner
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. CEO PT Vale Indonesia Tbk (INCO), Febriany Eddy mengungkapkan, proses negosiasi proyek smelter nikel di Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah sempat melewati masa perudingan yang alot (selama 9 bulan) dengan pihak partner dari Tiongkok. Pasalnya, pihak Vale Indonesia bersikukuh untuk mengaliri sumber daya energi ke smelter menggunakan gas alam cair (LNG). "Proses negosiasi alot hingga 9 bulan, panjang sekali, karena dari sisi partner tidak paham. Secara aturan memang tidak ada yang memaksa Vale Indonesia untuk beralih dari batubara ke LNG. Padahal penggunaan LNG bisa menurunkan net present value project sampai US$ 230 juta," jelasnya dalam acara forum berkelanjutan 2022 yang disaksikan secara virtual pada Selasa (22/3). Febriany menegaskan bahwa penggunaan LNG ini dilakukan semata-mata karena pilihan bukan paksaan. Toh di satu sisi, Vale Indonesia juga tetap mengantongi keuntungan. Febriany bilang, pihaknya tidak mengukur keberhasilan hanya dari keuntungan materi semata, tetapi juga menimbang faktor manusia dan planet yang harus dijaga.