Proyeksi Permintaan Direvisi Turun, Simak Prospek Harga Minyak Dunia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Usai reli, harga minyak mentah kembali tertekan. Diperkirakan tekanan bagi harga emas hitam tersebut berlanjut hingga akhir tahun 2024.

Berdasarkan data Trading Economics, harga minyak WTI berada di US$ 70,42 per barel pada Selasa (18/10) pukul 18.16 WIB. Dalam 24 jam terakhir harga WTI sudah ambles 4,61%.

Tertekannya harga minyak seiring dengan permintaan yang diproyeksikan berkurang. Lihat saja, OPEC+yang  kembali memangkas proyeksi permintaan minyak global pada tahun 2024 dan menurunkan prediksinya untuk tahun depan. Ini menjadi revisi ketiga berturut-turut dari OPEC.


Dalam laporan bulannya, OPEC mengatakan, permintaan minyak dunia di 2024 hanya naik 1,93 juta barel per hari (bph). Adapun, proyeksi sebelumnya peningkatan permintaan tumbuh 2,03 juta bph.

Pengamat Komoditas dan Mata Uang Lukman Leong mengatakan bahwa faktor China menjadi yang utama dalam revisi tersebut. Sebab, 70.000 dari 100.000 barel revisi itu disumbangkan oleh China.

"Dua hal utama adalah perkiraan ekonomi yang masih lesu serta semakin pesatnya pertumbuhan permintaan dari kendaraan listrik serta energi terbarukan lainnya," ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (15/10).

Baca Juga: Anjlok Lagi, Harga Minyak Brent Capai Level Terendah Sejak 2 Oktober 2024

Sebelum OPEC, Energy Information Administration (EIA) atau Badan Informasi Energi Amerika Serikat (AS) telah lebih dahulu memangkas proyeksi permintaan minyak. Revisi ke bawah itu disebabkan oleh pelemahan aktivitas ekonomi di China dan Amerika Utara.

Permintaan di 2024 diperkirakan sekitar 103,1 juta bph, turun 20.000 bph dari proyeksi sebelumnya. Lalu permintaan di tahun 2025, diperkirakan hanya tumbuh 1,2 juta bph menjadi 104,3 juta bph, yang turun 300.000 bph di bawah proyeksi EIA sebelumnya.

Di sisi lain, dalam laporan OPEC disebutkan bahwa meski direvisi turun, tetapi pertumbuhan permintaan tahun ini masih berada di atas rata-rata historis sebelum pandemi Covid-19 di 1,4 juta bph.

Lukman menanggapi, secara historis memang permintaan minyak selalu tumbuh, yang mana sejak tahun 1990, hanya terjadi dua kali penurunan yaitu ketika krisis finansial global 2008-2009 dan Covid 2020. Meski begitu, pertumbuhan dalam lima tahun terakhir ini semakin kecil.

"Contoh 2011-2015 naik dari 87 juta bph ke 94 juta bph, atau naik 7 juta bph atau naik 8% atau 1,6% rata-rata per tahun. Sedangkan pada periode 2019-2014 naik dari 100 juta bph ke 104 juta bph, atau naik 4 juta bph atau 4%, abaikan data 2020, sehingga dalam lima tahun terakhir hanya naik 0,8% per tahun," paparnya.

Untuk saat ini, Lukman melihat terdapat sejumlah sentimen yang akan memberikan pengaruh terhadap harga minyak. Sentimen pendorong harga dari pertumbuhan ekonomi dan kebijakan produksi OPEC+.

Baca Juga: Harga Minyak Dunia Anjlok 4% Selasa (15/10), Kekhawatiran Gangguan Pasokan Iran Reda

Sementara sentimen penekan dari produksi di Amerika Utara yang terus naik sejak 2010 ketika teknologi fracking pada shale oil dikenalkan. Faktor penekan lain yang juga sangat berperan adalah elektrifikasi pada transportasi. Di sisi lain, dari OPEC+ sendiri juga disebut masih over capacity dan tidak sedikit anggota yang produksinya lebih besar dari kuota.

Meski begitu, harga minyak masih didukung oleh eskalasi di Timur Tengah. Menurutnya, apabila terjadi gangguan logistik dan produksi, Iran dan selat Hormuz, harga bisa naik di atas US$ 80 hingga US$ 100 per barel, tetapi apabila tidak, harga akan kembali ke US$ 60, worst case US$ 50 per barel.

"Namun saat ini lebih condong ke worst case karena baru saja ada pernyataan dari Israel yang menyebutkan tidak akan menyerang minyak Iran," tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari