PT Badak NGL menanti pasokan gas baru untuk mendongkrak produksi



BONTANG. Melimpahnya sumber daya alam berupa gas alam yang tersimpan di dalam perut bumi Indonesia membuat kilang gas gas alam cair alias Liquified Natural gas memiliki peran yang amat penting dalam roda perekonomian Indonesia. PT Badak NGL adalah salah satu pelopor kilang LNG di Indonesia yang telah mendukung produksi LNG di Indonesia.Perjalanan PT Badak NGL berawal dari ditemukannya cadangan gas alam yang cukup besar di dua tempat di Indonesia. Pertama, di lapangan gas Arun, Aceh Utara oleh Mobil Oil Indonesia pada tahun 1971. Sumber gas alam kedua ditemukan di lapangan Badak, Bontang, Kalimantan Timur pada tahun 1972 oleh Huffco Inc.Saat itu, PT Badak NGL didirikan di Bontang dengan menempati lahan seluas 2.100 hektar. "Aliran LGN pertama dari Kilang Badak pada 5 Juli 1977," kata Presiden Direktur PT Badak NGL, Hanung Budya pekan lalu.Catatan saja, PT Badak NGL adalah perusahaan kilang gas LNG yang sahamnya dimiliki oleh empat pemegang saham. Pertamina menguasai 55%, sisanya dimiliki oleh oleh VICO sebanyak 20%, JILCO 15% dan PT Total E&P Indonesia sebanyak 10%. Pada awal beroperasi di tahun 1977, kilang gas alam cair yang berlokasi di Bontang ini berjalan dengan dua train dengan kapasitas produksi 3,3 juta ton LNG per tahun. Seiring berjalannya waktu, jumlah gas alam yang bisa disedot dari dua lapangan gas ini semakin besar sehingga PT Badak pun terus meningkatkan kapasitas produksinya.Saat ini kilang PT Badak NGL telah memiliki 8 train dengan kapasitas produksi mencapai 22,5 juta ton LNG dan 1,2 juta ton LPG. Jika beroperasi penuh, kilang Badak NGL bisa memproduksi gas rata-rata 140.000 metrik ton per hari. Produksi LGN ini disimpan dalam tangki penyimpan atau yang dikenal dengan LNG storage. Ada enam buah LGN storage yang memiliki kapasitas masing-masing sebesar 640.000 ton, serta lima LPG storage dengan kapasitas masing-masing sekitar 200.000 meter kubik gas.Peningkatan pasokan gas dari lapangan Arun dan lapangan Badak juga membuat PT Badak melakukan penambahan dan memperbesar ukuran pipa gas dari 36 inchi menjadi 42 inchi. Untuk mengangkut gas alam dan produk gas alam cair ini, kawasan kilang gas PT Badak juga dilengkapi dengan tiga dermaga untuk mengangkut dan mendistribusikan LNG.Pada awalnya, produksi LGN milik PT Badak hanya digunakan untuk diekspor. Tapi seiring dengan kebutuhan energi gas di tanah air, produksi LNG dan LPG PT Badak juga dibeli oleh Pertamina. Beberapa pembeli asing yang membeli LNG dari PT Badak antara lain Chubu Electric Power Co, Inc, Kansai Electric POwer Co.Inc, Nippon Steel Corporation Ltd, Korea Gas Corporation, dan CPC Corporation Taiwan. Namun kini, sudah lebih dari tiga dasawarsa kilang PT Badak NGL beroperasi. Layaknya sumber gas yang dieksplorasi secara terus menerus, jumlah gas yang bisa dihasilkan oleh kedua lapangan gas alam pun mulai berkurang. "Waktu itu diperkirakan gas habis setelah dieksploitasi selama 30 tahun. Tapi sampai saat ini rupanya kedua lapangan gas ini masih bisa berproduksi sekitra 15 juta mmscfd - 16 juta mmscfd," jelas Hanung.Alhasil, tahun ini, PT Badak menurunkan taget produksinya. Tahun ini, Hanung bilang PT Badak hanya mematok target produksi LGN sebesar 15,34 juta ton LNG atau setara dengan 270 kargo. Target ini lebih rendah 6,9% ketimbang realisasi produksi LNG PT Badak tahun lalu yang sebesar 16,48 juta ton atau setara dengan 313 kargo. "Pasokan gas tahun ini agak menurun," ujar Hanung di BONTANG, Kamis (10/2). Asal tahu saja, satu kargo gas setara dengan 125.000 meter kubik gas.Hanung menjelaskan, saat ini pasokan gas yang masuk ke PT Badak sebesar 2.500 mmscfd per hari. Pasokan gas ini bisa menghasilkan 96.000 meter kubik LNG dan LPG. "Dari jumlah produksi itu sekitar 2.000 meter kubik adalah LPG," jelas Hanung.Direktur dan Kepala Produksi PT Badak NGL Sutopo menambahkan, dalam satu hari, kilang pengolahan gas milik PT Badak memiliki kemampuan untuk mengolah gas hingga 3.300 mmscfd. Tapi, karena pasokan gas berkurang, maka produksi tidak bisa optimal. Akibat turunnya pasokan gas ini, maka tak heran kini PT Badak hanya mengoperasikan secara aktif tujuh train dari delapan train yang dimiliki. "Satu train terpaksa idle, karena pasokan gas turun," jelas Hanung.Catatan saja, untuk bisa memproduksi gas alam cair, PT Badak mendapat pasokan gas alam dari tiga produsen yaitu PT Total Indonesia, VICO, dan Chevron Pacific Indonesia.Menurunnya pasokan gas di kilang LGN PT Badak ini tak berarti sejarah PT Badak berakhir. Pasalnya, untuk menjamin suplai gas alam ke depan, kini sudah mulai banyak temuan lapangan gas baru seperti lapangan gas Masela dan Donggi - Senoro. Hanung Optimis Sehingga PT Badak masih bisa mendapatkan pasokan gas untuk jangka panjang dengan mengadakan kontrak-kontrak baru. "Temuan sumber gas baru ini diharapkan bisa digunakan hingga 30 tahun ke depan," kata Hanung.Beberapa cadangan gas baru ini, diantaranya adalah coalbed methane (CBM) alias gas metana batubarayang saat ini tengah dieksplorasi dan diproduksi oleh VICO, dan gas laut dalam (Deep water gas) yang diproduksi oleh Chevron. Untuk CBM, Hanung optimis bisa mulai mendapatkan pasokannya sekitar tahun 2013 - 2014. "Sedangkan untuk gas laut dalam milik Chevron itu sekitar tahun 2016 -2017", jelasnya.Kesuksesan PT Badak memproduksi gas LNG lebih dari tiga dasawarsa ini tak terlepas oleh komitmen mereka untuk menjaga kualitas dan keselamatan melalui kedisiplinan yang tinggi. Hanung bilang, sejak tahun 2006 hingga saat ini PT Badak sudah menjalankan 63,8 juta jam kerja tanpa kecelakaan.Berkat standar kualitas dan keamanan yang tinggi, tahun ini PT Badak juga telah mendapatkan sertifikat International Savety Rating System (ISRS) yaitu ISRS8 level 8 dari lembaga sertifikasi DNV Norwegia. Untuk mendapatkan sertifikasi ini, perusahaan dinilai berdasarkan performanya di beberapa bidang meliputi keamanan, kelestarian lingkungan dan kinerja bisnis. Dengan pencapaian ISRS8 level 8, maka PT Badak NGL menjadi perusahan energi pertama di dunia yang berhasil meraih level 8 dalam sertifikasi ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Rizki Caturini