KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Barito Pacific Tbk (
BRPT) masih akan berpikir ulang terkait rencana perusahaan untuk menerbitkan surat utang global atau
global bond. Direktur Utama PT Barito Pacific Tbk Agus Salim Pangestu mengatakan, pihaknya tidak akan terburu-buru mengambil keputusan tersebut. “Penerbitan global bond itu perlu enggak perlu sebenarnya,” kata Agus, Jumat (19/7). Mei lalu, lembaga pemeringkat Fitch menyebut BRPT, anggota indeks
Kompas100 ini, sedang menjajaki kemungkinan untuk menerbitkan global bonds. Bloomberg juga mencatat, Mei lalu BRPT mengadakan serangkaian pertemuan dengan investor di Hong Kong, Singapura, London, dan New York. Bloomberg menyebut, kemungkinan obligasi tersebut memiliki tenor lima hingga tujuh tahun. Bahkan Fitch memberi ekspektasi peringkat obligasi tersebut di level B+(exp) dengan recovery rating RR4.
Menurut Agus, perusahaan yang ia pimpin masih memiliki
debt equity ratio yang masih BRPT, anggota indeks
Kompas100 ini, kuat. Kalau ditilik pada data RTI, per Maret 2019 BRPT memiliki DER sebesar 150,67% atau sekitar 1,5x. Melihat hal tersebut, Agus menilai perusahaannya masih memiliki beragam opsi untuk melakukan pinjaman dan pembiayaan. Posisi kas perusahaan saat ini menurutnya juga masih kuat. “Sehingga penerbitan obligasi itu hanya opsi saja, bukan prioritas,” tandas Agus. Kalau dilihat, per 31 Maret 2019 lalu posisi kas BRPT tercatat sebesar US$ 622,03 juta. Jumlah itu turun 22,3% secara
year on year dari kuartal I tahun lalu. Sedangkan untuk total jumlah aset BRPT sendiri tercatat sebesar US$ 6,84 miliar atau turun sebesar 2,7% secara
year on year. Untuk
refinancing, BRPT optimistis pihaknya bisa mengandalkan hasil kinerja perusahaan untuk menutup lubang utang. Ia mengatakan, BRPT memiliki utang yang akan jatuh tempo paling dekat pada tahun 2021. “Itupun kami masih optimistis bisa tutup dengan kinerja kami,” tuturnya. Selain kondisi keuangan internal yang dinilai masih kuat, Agus juga menilai beberapa proyek BRPT tahun ini sudah bisa dibilang aman secara pembiayaan. Sebagai informasi, tahun ini BRPT fokus menggarap beberapa proyek baru. Misalnya untuk proyek PLTU Jawa unit 9 dan 10. Agus mengatakan proyek tersebut sudah
fully funded. Asal tahu, BRPT bersama PLN menjadi pihak inisiator pembangunan PLTU tersebut. Sebagai pihak swasta, BRPT menggenggam sekitar 41% dari kepemilikan PLTU itu. Sedangkan sisanya dikempit oleh PLN. Proyek pembangkit listrik berkapasitas 2x1000 megawatt itu memiliki nilai investasi sebesar US$ 3,1 miliar. Perusahaan memperkirakan penyelesaian pendanaan akan rampung di akhir tahun. Begitu juga dengan proyek anak perusahaan BRPT, PT Chandra Asri Pethrocemichal Tbk (TPIA). Tahun ini TPIA sedang membangun dua pabrik baru untuk polietilena dan polipropilena. Agus mengatakan, tak ada masalah untuk pendanaan pembangunan tersebut. “Minat partner kami tinggi untuk proyek tersebut. Apalagi untuk TPIA baru saja mendapat pemeringkatan yang baik dari Standard and Poor’s,” kata Agus. Dengan segala pertimbangan tersebut, maka dirinya pede bisa meraih pendanaan dari berbagai instrumen lain, tak terkecuali dari internal dan pinjaman bank. Tahun ini, BRPT mengalokasikan
capital expenditure (capex) sebesar US$ 560 juta. Sebanyak 82% dari dana itu digunakan oleh TPIA untuk membangun pabrik baru di Cilegon. Sedangkan sisanya, sekitar US$ 100 juta, akan digunakan untuk lini usaha energi BRPT yang dioperasikan oleh Star Energy. “Selain pabrik TPIA, kita gunakan untuk
drilling rutin,” kata Agus. Hingga semester I-2019, BRPT sudah menyerap sekitar separuh dari
capex tersebut.
Head of Research Narada Asset Management Kiswoyo Adi menilai optimisme BRPT cukup berdasar. Menurutnya, lini bisnis petrokimia yang dijalankan melalui TPIA bisa menjadi penopang bagi perusahaan. Hal itu paling tidak tercermin dari kinerja sepanjang kuartal I. Sepanjang periode tersebut, TPIA menyumbang pendapatan sebesar US$ 552,21 juta. Jumlah itu sekitar 81% dari total pendapatan BRPT yang sebesar US$ 679,24 juta. Secara industri, kebutuhan petrokimia dalam negeri pun disebut Kiswoyo masih besar. Hal ini membuat TPIA tidak akan terlalu kesulitan untuk mencari pasar. “Pabrik TPIA
full capacity saja kita masih harus impor. Pun ketika nanti pabriknya jadi dan beroperasi, itu tidak menutup kebutuhan kita,” kata Kiswoyo, Jumat (19/7). Dengan prospek industri yang menurutnya masih baik, wajar apabila ia menilai BRPT percaya diri tak perlu menerbitkan
global bond. “Meski DER bisa dibilang tinggi, tapi melihat prospek industri yang cerah saya pikir enggak menjadi masalah buat perusahaan,” tandas Kiswoyo. Lantas apakah saham BRPT menarik untuk dikoleksi? Analis Oso Sekuritas Sukarno Alatas mengatakan meski prospek masih baik namun penurunan beberapa rasio profitabilitas mengalami penurunan.
Sukarno mencatat,
net profit margin BRPT turun dari tahun ke tahun. “Apalagi di kuartal I tahun ini,
net profit margin BRPT turun signifikan dari 3,58% menjadi 0,86%,” kata Sukarno, Jumat (19/7). Meski begitu, rencana perusahaan untuk melakukan
stock split dengan rasio 1:5 tetap bisa menjadi faktor pemanis bagi para investor. “Likuiditas dan harga akan lebih baik, praktis akan menjadi daya tarik,” sebut Sukarno. Untuk itu, ia mengatakan bahwa saham BRPT bisa untuk
trading dengan target harga Rp 4.000. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi