JAKARTA. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan PT Sumatera Persada Energi (SPE) dalam keadaan pailit, setelah permohonan pembatalan perdamaian yang diajukan PT Bank CIMB Niaga Tbk dikabulkan majelis hakim. Ketua majelis hakim Titiek Tedjaningsih bependapat SPE telah lalai menjalani proposal perdamaian yang telah dihomologasi pada Oktober 2014 lalu. Sebab, perusahaan minyak tersebut belum membayar tagihan kepada pihak bank sejak Januari-Oktober 2016 sejumlah US$ 2,44 juta. CIMB Niaga merupakan kreditur pemegang jaminan (separatis) SPE. Adapun, dalam perjanjian perdamaian itu, SPE akan membayar cicilan utangnya setiap bulan dengan pembayaran terakhir pada 28 April 2020.
Dalam perkembangannya, debitur justru lalai dalam menjalankan kewajibannya per 2016. Padahal pemohon telah melayayangkan surat peringatan untuk menagih utang sebanyak tiga kali hingga 13 Mei 2016. Di mana, total kewajiban debitur per 21 Oktober 2016 adalah sebesar US$ 20,36 juta. Sehingga, berdasrakan Pasal 291 ayat (1) Undang-undang No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU, kreditur dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila debitur lalai memenuhi isi perdamaian. Titiek juga bilang, dalil jawabannya, SPE tidak bisa membuktikan jika pihaknya tidak lalai dalam pembayaran tagihan kepada para kreditur. Tak hanya itu, menurut majelis eksepsi SPE yang menilai permohonan pembatalan prematur juga tak mendasar. Dengan demikian, majelis bilang cukup beralasan bagi majelis hakim untuk mengabulkan permohonan CIMB Niaga. "Mengadili, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, dan menyatakan perjanjian perdamaianyangtelah dihomologhasi pada Oktober 2014 lalu batal demi hukum," ungkap Titiek dalam amar putusannya yang dibacakan, Kamis (15/12). Atas hal tersebut, berdasarkan Pasal 291 ayat 2 UU Kepailitan maka, secara hukum SPE harus dinyatakan pailit. Meski telah pailit, majelis dalam putusannya enggan menyatakan kalau SPE dalam keadaan insolvensi. Pasalnya, hal itu bukan lah kewenangan majelis hakim tapi kewenangan hakim pengawas untuk menyatakan perusahaan insolvensi atau belum. Sekadar tahu saja, insolvensi biasanya diperlukan bagi para kreditur separtis untuk mengeksekusi jaminan terhadap perusahaan yang telah jatuh pailit. Ditemui seusai persidangan, kuasa hukum CIMB Niaga Swandy Halim mengatakan, putusan majelis hakim telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. "Jika lalai dalam menjalankan perjanjian perdamaian, maka konsekuensinya adalah pailit," katanya. Dalam kesempatan yang sama, kuasa hukum SPE Dida Hardiansyah mengapresiasi putusan mejelis hakim, tapi pihaknya menyayangkan majelis hakim yang tak mempertimbangkan status PKPU yang tengah disandang perusahaan. "Berdasarkan Pasal 260 UU Kepailitan, suatu perusahaan tidak bisa dipailitkan jika sedang dalam PKPU," tutupnya.
Sekadar informasi, saat ini SPE tengah menjalani proses PKPU yang kedua dengan No. 107/Pdt.Sus-PKPU/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst. Proses PKPU kedua ini ditujukan untuk mengubah perjanjian perdamaian yang telah disepakati pada forum PKPU terdahulu lantaran melesetnya target harga minyak dunia. Pada perjanjian perdamaian terdahulu, untuk pembayaran kedua pada tahun ini SPE mengasumsikan harga minyak sebesar US$ 100 per barel tapi kenyataannya harga minya masih di level US$ 40 per barel. Meski begitu, pihak bank tak mau masuk dalam proses PKPU yang kedua dan memilih untuk mengajukan pembatalan perjanjian perdamaian. Sebab, menurut Swandy, putusan PKPU dan homologasi terdahulu adalah bersifat final dan berkekuatan hukum tetap. Bahkan menurutnya, tindakan debitur yang mengajukan PKPU kedua dapat merusak tatanan sistem hukum kepailitan di Indonesia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia