JAKARTA. PT Bukit Asam Tbk menyiapkan proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap senilai US$ 1,5 miliar. Dalam waktu dekat, emiten berkode PTBA ini akan meneken kesepakatan jual beli listrik dengan PT Perusahaan Listrik Negara. Kapasitas pembangkit itu mencapai 2x620 megawatt (MW). "Kami juga akan mendirikan perusahaan
joint venture bulan ini," ungkap Direktur Utama PTBA, Milawarma, Selasa (4/9). Dus, PTBA tahun depan sudah bisa memulai konstruksi pembangkit listrik itu. Di proyek PLTU Sumsel 8 itu, PTBA bekerjasama dengan China Huadian Corporation. Porsi kepemilikan PTBA sebesar 45%.
Struktur pembiayaan proyek itu meliputi US$ 375 juta atau 25% berasal dari ekuitas dan US$ 1,13 miliar atau 75% melalui pinjaman bank. Jadi, untuk proyek ini PTBA harus menyiapkan dana senilai US$ 168,75 juta, atau Rp 1,6 triliun (kurs US$ 1 = Rp 9.500). Sekretaris Perusahaan PTBA, Hananto Budi Laksono menambahkan kas internal PTBA cukup untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut. "Kas internal kami masih ada Rp 6,79 triliun," kata dia. Untuk pinjaman bank, kata Hananto, akan ditutup dengan pinjaman China Development Bank (CDB). Selain proyek PLTU ini, PTBA akan menggarap proyek PLTU mulut tambang senilai Rp 15 triliun. Itu merupakan proyek patungan antara perseroan dan PLN dan perusahaan listrik negara Malaysia, yakni Tenaga Nasional Berhad (TNB). Kapasitas pembangkit yang bakal dibangun di Pranap, Indragiri Hulu, Riau, ini sebesar 2x600 MW. Proyek itu masih tahap studi kelayakan. Analis AM Capital, Janson Nasrial, berpendapat, PTBA memang harus gesit mencari proyek, untuk memanfaatkan kasnya yang bernilai besar. "Dana menganggur PTBA masih sekitar Rp 5 triliun, jadi ruang ekspansi cukup besar," tutur dia. Dus, proyek besar seperti PLTU bisa memaksimalkan pendapatan di jangka panjang. Kendati belakangan ini harga batubara menyusut, PTBA optimistis bisa mencatatkan pertumbuhan kinerja di tahun ini. PTBA menargetkan pendapatan tumbuh 20% menjadi Rp 12,69 triliun di tahun ini. Tapi manajemen mengaku belum bisa memperkirakan laba bersih 2012. Yang pasti, untuk memaksimalkan laba, PTBA memiliki sejumlah strategi. Pertama, perseroan mengoptimalkan peralatan produksi yang menggunakan energi listrik. Hal ini bertujuan mengurangi struktur biaya produksi yang sekitar 20%-30% terpakai untuk bahan bakar minyak (BBM). "Kami berupaya beban biaya hanya naik 1% per ton dari tahun lalu," kata Milawarma. Kedua, PTBA akan meningkatkan volume produksi batubara berkualitas tinggi (di atas 6.000 kkal/gr) untuk kebutuhan ekspor. Permintaan batubara jenis ini masih tinggi dari negara-negara seperti Jepang dan Malaysia. PTBA juga akan menurunkan eskpor batubara berkualitas rendah. Harga batubara yang memiliki kadar kalori 6.700 kkal saat ini sekitar US$ 93 per ton. Sedang kalori di bawah itu, harga maksimalnya hanya US$ 70 per ton. Mengingat biaya produksi sama, maka dengan peningkatan produksi batubara berkalori tinggi, margin dan pendapatan peseroan bisa dipertahankan.
Ketiga, mengendalikan
stripping ratio atau rasio perbandingan antara volume lapisan tanah yang harus digali dengan tonase batubara yang diambil. Menurut Milawarma, semakin tinggi
stripping ratio, semakin besar biaya yang dikeluarkan. Keempat, mengalihkan penjualan batubara dari China Selatan ke India. Sebagai informasi, cadangan batubara di wilayah China Selatan mengalami kelebihan stok. Alhasil, ini menahan permintaan ekspor batubara dari luar China. Di saat yang sama, India membutuhkan pasokan dalam jumlah besar. Adapun jenis batubara yang dibutuhkan India sama dengan yang biasa diminta China, yaitu batubara berkalori rendah. Janson menargetkan harga saham PTBA hingga akhir tahun ini bergerak di Rp 18.800 per saham. Dia merekomendasikan beli untuk saham PTBA. Harga PTBA, Selasa (4/9), menyusut 2,73% menjadi Rp 14.250 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sandy Baskoro