KONTAN.CO.ID - PT Freeport Indonesia (PTFI) bersama Kompas Talks menyelenggarakan seminar virtual bertema “Investment In Our Planet : Hutan Mangrove Sebagai Penyerap Karbon” pada Selasa, 9 Mei 2023. Turut hadir dalam acara tersebut Vice President Environment/Sustainable Development PT Freeport Indonesia, Gesang Setyadi; Guru Besar Fakultas Kelautan dan Perikanan sekaligus Ketua SDGs Center Universitas Diponegoro, Prof. Denny Nugroho; Sekretaris Utama Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Republik Indonesia, Ayu Dewi Utari; dan Wakil Redaktur Pelaksana Harian Kompas Haryo Damardono. Dalam pemaparannya, Haryo Damardono mengibaratkan hasil tambang sebagai sebuah
gift dari Tuhan yang bisa dimanfaatkan. Tetapi, sulit dipungkiri juga hasil tambang dapat memberikan masalah lingkungan, seperti lubang bekas tambang. Di sisi lain, ia mulai melihat sektor tambang mulai aktif menyelesaikan masalah lingkungan tersebut. Hal itu pun dilakukan PT Freeport Indonesia yang melakukan reklamasi dan hasilnya mampu menumbuhkan pohon dan ikan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat.
“Ada juga hasil reklamasi, ada hewan, tumbuhan, hutan mangrove, dan ikan yang bisa dikonsumsi dengan aman,” kata Haryo. Dalam acara serupa, Ayu Dewi Utari menjelaskan pelestarian lingkungan bukan semata tugas pemerintah, tetapi juga semua pihak. Komitmen menjaga lingkungan turut menjadi pondasi penting untuk menjamin keberhasilan semua pihak. Pada dasarnya, pelestarian mangrove sudah menjadi isu penting setelah perjanjian Paris 2015 yang berisi komitmen penurunan gas rumah kaca (GRK) di tahun 2030 nanti. Merespon kabar tersebut, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. “Itu momen penting dan menjadi tonggak dalam upaya rehabilitasi mangrove di Indonesia. Di sinilah regulasi sangat penting bagi Indonesia memberi kontribusi untuk perbaikan iklim berbasis pasar di tingkat nasional dan global,” ucap Ayu. Walau sudah dilakukan banyak pihak, ada tantangan lain dalam merehabilitasi mangrove di Indonesia, salah satunya deforestasi di Area Penggunaan Lain. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK), total luas mangrove di Indonesia seluas 4,129,263 hektar (Ha). Secara rinci, Ayu menyebut 3,364,080 Ha merupakan kawasan mangrove dan 756,183 Ha yang sebelumnya menjadi kawasan mangrove yang berubah menjadi area abrasi, lahan terbuka, atau tambak. Ayu bercerita, perubahan ini juga membuat BRGM harus menyusun strategi komunikasi kepada masyarakat pemilik tambak bahwa mangrove memiliki peran penting untuk alam dan masyarakat. Setelah dikomunikasikan, masyarakat pun sudah mulai mengerti tentang keberadaan mangrove untuk alam dan lingkungan sekitar. “Rehabilitasi mangrove sering dianggap mengganggu keberadaan tambak. Kita pun harus memberi ruang diskusi dan pendekatan kepada masyarakat. Harus
ngobrol dari hati ke hati,” cerita Ayu. Dari sudut pandang ilmiah, hutan mangrove memiliki manfaat sebagai
blue carbon untuk kondisi bumi yang mampu menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah besar pada komponen tumbuhan (batang, daun, ranting, akar, dan serasah) dan sedimen di bawahnya. Denny Nugroho Sugianto memaparkan, terdapat 83% sirkulasi dari siklus karbon global terjadi di lautan, ada 2% habitat pesisir dari total luas lautan, dan 50% habitat pesisir yang mampu menyerap karbon dari sedimen laut. “Hutan mangrove di Indonesia mampu menyerap 52,85 ton karbon per hektar per tahun, atau lebih tinggi dari estimasi global sebesar 26,42 ton karbon per hektar per tahun,” papar Denny. Bagi korporasi, rehabilitasi mangrove punya manfaat untuk masyarakat sekitar dan lingkungan. Gesang Setyadi menjelaskan, PTFI sebenarnya telah melakukan penanaman mangrove dari tahun 2002, namun masih percobaan. Di tahun 2005, PTFI berhasil meningkatkan
survival rate lebih dari 90% yang dilakukan oleh kontraktor lokal Papua. Jenis tumbuhan yang ditanam antara lain
Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Sonneratia alba, Sonneratia casiolaris, Avicenia marina, Bruguera gymnorrhiza,dan
Nipah Fruticans. “Rata-rata lolos hidupnya lebih dari 90% dan total area yang telah ditanam seluas 444 Ha,” kata Gesang. Dalam kurun waktu tahun 2023 – 2032, PTFI telah merancang 10.000 Ha untuk penanaman mangrove dengan rincian 6.000 Ha terdampak di Muara Ekua dan sisanya berada di wilayah lainnya. Agar semakin luas, PTFI juga berkoordinasi dengan BRGM untuk melakukan penanaman di wilayah Kalimantan. “Untuk saat ini, kami menargetkan penanaman 500 Ha per tahun. Untuk menambah lokasi lain, PTFI juga bekerja sama dengan BRGM,” pungkas Gesang. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ridwal Prima Gozal