PUKAT UGM nilai reformasi birokrasi jadi cara tekan korupsi di daerah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Zaenur Rohman, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM mengatakan, pemerintah harus serius melakukan pencegahan perilaku korupsi dengan reformasi birokrasi.

“Tindakan pencegahan melalui reformasi birokrasi. Misalnya mewajibkan semua daerah menggunakan e-planning, e-budgeting dan e-procurement,” ungkap Zaen saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (28/10).

Ia mengungkapkan bahwa korupsi di daerah sangat masif terjadi. Terbukti dengan ditangkapnya Bupati Cirebon pada 24 Oktober lalu merupakan kepala daerah ke-19 yang diproses KPK melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) di tahun 2028. Dan juga menjadi kepala daerah ke-100 yang diproses oleh KPK sejauh ini.


Sementara baru-baru ini KPK mencokok dan menersangkakan 4 orang dari Komisi B DPRD Provinsi Kalimantan Tengah. Yakni ketua Komisi B Borak Milton, Sekretaris Komisi B, Punding LH dan dua orang anggota komisi yakni Arisavanah dan Edy Rosada.

Mereka diduga menerima suap sebesar Rp 240 juta dari pihak swasta PT. Binasawit Abadi Pratama (BAP). Mahar tersebut terkait terkait pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan Komisi B DPRD Kalteng tersebut dalam bidang perkebunan, kehutanan, pertambangan dan lingkungan hidup di Pemprov Kalteng tahun 2018.

Melihat kondisi tersebut, Zaen menilai ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya tingkat perilaku korupsi di daerah.

Pertama menurutnya biaya politik tinggi dalam pilkada langsung. Hal itu membuat kepala daerah terpilih selalu berpikir mengembalikan modal.

Kemudian kedua, Zaen menuding fungsi pengawasan Inspektorat di daerah sangat lemah. Karena kedudukannya yang berada dibawah kepala daerah itu sendiri, sehingga tidak berhasil mencegah tindak korupsi tersebut. Sementara di DPRD, yang seharusnya mengawasi pemerintahan malah memanfaatkan fungsi dan jabatannya.

“Begitu juga DPRD yang justru banyak memeras kepala daerah misalnya dalam pengesahan anggaran,”

Ketiga adalah aparat birokrasi turut melakukan korupsi bersama kepala daerah, sehingga tidak adanya penyeimbang yang mengontrol kepala daerah tersebut secara internal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Narita Indrastiti