JAKARTA. Sudah jatuh tertimpa tangga, eh, masih keserempet mobil. Begitulah ibarat nasib korporasi di Indonesia. Depresiasi rupiah terhadap dollar AS yang tiada henti, menghantam laba emiten. Setahun (
year on year), kurs rupiah melorot 14,65%. Saat bersamaan, melambatnya pertumbuhan ekonomi, yang akhirnya menekan daya beli. Upaya lindung nilai
(hedging) pun tak banyak menolong. Padahal, kata Thendra Chrisnanda, Analis BNI Securities, beberapa emiten besar bahkan sudah
hedging hingga di level Rp 13.500 per dollar AS. Toh, gara-gara daya melemah,
hedging bukan obat cespleng terlindung dari kemerosotan profit.
Tak pelak, semester I-2015, mayoritas emiten saham yang sudah melaporkan kinerja keuangannya, mencatatkan rapor merah. Kalau tidak rugi, ya, labanya merosot drastis. Bahkan laba bersih sekitar 20 emiten saham yang masuk daftar Indeks LQ-45, merosot drastis. Itu pula yang membuat pasar bereaksi negatif sehingga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 0,18% menjadi 4.712,49, pada perdagangan kemarin. Penurunan daya beli tampak dari lesunya penjualan emiten properti, manufaktur, otomotif, serta perbankan. Pendapatan PT Astra Internasional Tbk (ASII) pada semester I-2015, misalnya, melorot 9% menjadi Rp 92,5 triliun. Laba bersihnya turun 18% menjadi Rp 8,05 triliun. Anak usaha ASII, yakni PT Astra Agro Lestari Tbk (
AALI) membukukan rugi kurs Rp 359,61 miliar. Tahun lalu AALI masih mencetak keuntungan kurs, meski mini. Jebloknya kinerja AALI juga akibat penurunan pendapatan. Laba periode berjalan perusahaan CPO ini anjlok 66,49% menjadi Rp 477,9 miliar, ketimbang akhir Juni tahun lalu yang masih Rp 1,43 triliun. Secara konsolidasi, ASII cuma mencetak rugi kurs Rp 74 miliar. Perseroan ini masih menggaet untung kurs dari segmen alat berat dan pertambangan Rp 247 miliar serta otomotif Rp 39 miliar. Depresiasi rupiah juga menjadi momok emiten yang membeli bahan baku impor. PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (
JPFA) harus merugi Rp 272,12 miliar pada semester I-2015. Padahal di semester I-2014, emiten pakan ternak ini, masih mencetak laba bersih Rp 325,98 miliar. Erlin Salim,
Associate Director Fitch Ratings melihat, dampak pelemahan rupiah ke setiap emiten bervariasi. Emiten pemimpin pasar lebih mudah mengantisipasi depresiasi rupiah dengan menaikkan harga jual. Tapi, emiten non-pemimpin pasar tak punya kemewahan itu. "Seperti JPFA, permintaan produk lemah, suplai banyak. Sulit menaikkan harga," ujar Erlin kepada KONTAN, Kamis (30/7).
Memang, ada juga emiten yang diuntungkan dari pelemahan nilai tukar. PT Sri Rejeki Isman Tbk (
SRIL), yang mengekspor produknya. Namun, nasib baik itu tak menghampiri PT Vale Indonesia Tbk (
INCO). Kendati berorientasi ekspor, pendapatan INCO turun 15% menjadi US$ 409,65 juta. Laba bersihnya juga turun 38% menjadi US$ 41,8 juta. "Emiten berbasis komoditas seharusnya bisa untung," ujar Supriyadi, Kepala Riset OSO Securities. Nah, jika berniat masuk ke pasar saham, Supriyadi menyarankan agar investor menunggu timing yang pas. "Akhir kuartal III, saat rupiah lebih stabil," kata dia. Pilihannya, menurut Thendra, saham tahan banting. Di sektor konsumer ada
UNVR,
ICBP, dan
MYOR. Di sektor infrastruktur dan konstruksi pilihannya
TLKM,
WSKT dan
PTPP bisa dilirik. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia