Polemik dari cuitan Twitter dari Achmad Zaky,
Chief Executive Officer salah satu platform marketplace terbesar di Indonesia, tentang rendahnya pengeluaran penelitian dan pengembangan atau research and development (R&D) menuai kontroversi. Sebagian menyikapi penggunaan sumber data yang kurang tepat dari cuitan itu. Sebuah ironi seorang CEO perusahaan yang berbasis data. Tapi, jika kita membawa isu tersebut di ruang diskusi dan mengesampingkan afiliasi politik dalam gegap gempita pemilihan presiden (pilpres), pernyataan Achmad Zaky sebenarnya merupakan puncak dari gunung es dari segudang permasalahan pengembangan R&D di Indonesia. Hal ini sebenarnya telah menjadi perhatian dari para peneliti, ahli statistik, ekonom, dan analis data. Sebagai peneliti yang sempat bekerja di Komisi Eropa, penulis belajar bagaimana Uni Eropa memiliki perhatian yang sangat besar terhadap perkembangan R&D, khususnya di sektor Teknologi Informasi, dan Komunikasi (TIK). Mereka menyadari bahwa kemajuan teknologi dan inovasi sangat penting untuk menjawab berbagai permasalahan jangka panjang. Seperti penciptaan lapangan kerja baru serta pencapaian efisiensi dari penggunaan sumber daya alam dan energi.
Selain itu, Agenda Digital untuk Eropa (Digital Agenda for Europe) sebagai salah satu dari tujuh pilar Strategi Eropa 2020 dibuat sebagai acuan pertumbuhan ekonomi dan pembentukan Pasar Tunggal Digital (DSM) Eropa. Kebijakan ini menjadi satu dari 10 prioritas politik yang ditetapkan oleh Komisi Eropa sejak 2015. Salah satu indikator utama untuk mencapai tujuan-tujuan di atas adalah pemenuhan target investasi publik dan swasta dalam pengeluaran R&D yakni sebesar 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2020. Target tersebut dianggap sebagai prasyarat mutlak agar Uni Eropa bisa menciptakan lingkungan yang kondusif dalam bidang inovasi. Untuk pengambil kebijakan di Indonesia, ada minimal dua hal yang bisa digarisbawahi dan ditindaklanjuti. Pertama, pengkerdilan sektor teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Organisasi Kerjasama Pengembangan Ekonomi atau OECD dalam measuring the digital economy menyatakan, perekonomian digital adalah struktur perekonomian yang didorong oleh peranan TIK, baik dalam sisi produksi maupun konsumsi. Dari sisi produksi, peranan TIK akan mendorong lahirnya berbagai model bisnis yang baru dan proses produksi. Dari sisi konsumsi, TIK berpotensi meningkatkan produktivitas masyarakat dengan berbagai kemudahan terutama didukung dengan adopsi internet, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia dari pendidikan maupun kesehatan. Dari definisi ini, TIK selalu menjadi inti dalam memahami perekonomian digital. Bukht dan Heeks (2017) dari Universitas Manchester, misalnya, menjelaskan TIK sebagai inti dari perekonomian digital. TIK sendiri menurut klasifikasi OECD (yang juga diadopsi oleh Komisi Eropa) seharusnya bisa didefinisikan dengan lebih detil, yaitu meliputi sektor TIK industri dan jasa-jasa. Termasuk industri TIK adalah: industri komponen elektronika, peralatan komunikasi dan peralatan optikal. Sementara sektor jasa TIK meliputi: telekomunikasi, perangkat lunak (software), pemrograman komputer, dan pemrosesan data. Sayangnya, di Indonesia dalam setiap peta jalan yang berkaitan dengan perekonomian digital baik yang disusun oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Kementrian Perindustrian (Kemperin) atau Bank Indonesia (BI), titik berat dari TIK selalu menekankan kepada pengembangan e-commerce dengan sangat sedikit menyinggung sektor TIK yang lain. Ini yang membedakan Indonesia dengan negara maju yang lain. Komisi Eropa misalnya, memiliki data statistik yang khusus dibuat untuk memonitor sektor TIK. Database Prospective Insights on R&D in ICT atau disingkat PREDICT menganalisa dengan detil sektor TIK dari sisi pembentukan nilai ekonomi, penyerapan lapangan kerja, serta kontribusi R&D di masing-masing sektor dan subsektor. Database ini mampu memetakan spesialisasi TIK di beberapa negara utama dunia, baik Uni Eropa maupun di negara-negara kompetitor (terutama Amerika Serikat dan China). Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) sendiri menyatakan, pertumbuhan riset Indonesia dalam kurun waktu empat tahun terakhir sebenarnya telah berkembang cukup pesat. Hingga tahun 2017, anggaran di Indonesia adalah sebesar Rp 30 triliun atau sebesar 0,25% dari total PDB. Proporsi ini masih berada di bawah Thailand (0,6%), Malaysia (1,6%), dan Singapura (2,2%). Namun demikian, dalam kaitannya dengan perekonomian digital, karena basis data statistik TIK di Indonesia masih belum tersedia, prioritas alokasi anggaran riset di sektor TIK akan sulit mencapai target. Misalnya untuk melihat sektor TIK mana yang memiliki keunggulan kompetitif di Indonesia di luar e-commerce. Kedua, hilangnya perusahaan-perusahaan Indonesia dari radar R&D dunia. Berdasarkan Frascati Manual sebagai sumber rujukan definisi R&D yang diadopsi secara global, R&D adalah aktivitas kreatif dan sistematis yang dilakukan untuk meningkatkan stok pengetahuan yang memiliki dampak kepada masyarakat. Dalam tataran empirik, pengukuran dampak R&D terhadap keunggulan suatu perusahaan tidak bisa dilepaskan dari penelitian yang dilakukan oleh Crepon-Duguet-Mairesse (1998) dikenal dengan model CDM. Penelitian ini mengukur secara kuantitatif hubungan antara pengeluaran R&D, kemampuan inovasi, dan produktivitas suatu perusahaan. Dengan menggunakan kerangka model ini, akan terlihat seberapa besar R&D mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk melakukan inovasi, baik yang bersifat teknis (inovasi produk dan proses), dan nonteknis (inovasi organisasi). Selanjutnya akan juga bisa diukur seberapa besar hubungan antara setiap jenis inovasi dengan produktivitas suatu perusahaan. Berkaitan dengan hal ini, setiap tahun, Komisi Eropa mengeluarkan daftar 2.500 perusahaan dunia yang diperingkat berdasarkan pengeluaran investasi dalam bidang R&D. Sebagaimana kesimpulan dalam model CDM, tidak bisa dipungkiri bahwa R&D adalah bahan bakar perusahaan modern untuk bisa semakin inovatif memiliki keunggulan dalam persaingan yang semakin ketat saat ini.
Dari data 2.500 perusahaan-perusahaan yang berbasis di 46 negara pada tahun 2018, terdapat 577 perusahaan yang berbasis di negara-negara Uni Eropa yang berkontribusi terhadap 27% dari total, 778 perusahaan AS berkontribusi 37%, 339 perusahaan Jepang berkontribusi 14%, 438 perusahaan China sebesar 10%, dan 368 dari negara-negara dunia lain atau setara dengan proporsi 12%. Sayangnya, sejak data ini dikeluarkan 15 tahun terakhir, tidak ada satupun perusahaan Indonesia yang masuk dalam daftar ini. Sebaliknya, terdapat enam perusahaan Singapura, dua perusahaan Malaysia dan satu perusahaan Thailand dalam daftar tersebut.♦
Ibrahim Kholilul Rohman Kepala Riset Ekonomi Samudera Indonesia Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi